KAJIAN HADITS KE-2 ARBA’IN AN-NAWAWIYAH

Kemudian Nabi saw. memberikan jawaban atas pertanyaan Jibril di dalam hadits tersebut yang tercakup di dalam Islam yaitu puasa di Bulan Ramadhan. Kewajiban berpuasa di Bulan Ramadhan ini bagi setiap muslim yang ditetapkan mampu penunaiannya selama dipandang tidak ada halangan-halangan syar’i. . Sekiranya ternyata tidak mampu menunaikan karena alasan syar’i, dalam bingkai Fiqh Islam bagi golongan tertentu ada yang diqadha pada bulan-bulan yang lain, seperti wanita haid, orang yang dalam perjalanan dan orang yang sakit bersifat incidental di Bulan Ramadhan itu. Adapun bagi orang yang sakit kronis menahun dan tidak begitu diharapkan kesembuhannya, maka bagi mereka berlaku fidyah memberi makan setiap hari yang ia tidak berpuasanya kepada seorang miskin. Demikian pula bagi orang yang telah lanjut usia, sekiranya tidak kuat berpuasa, diganti dengan membayar fidyah. Ulama juga berpendapat mengenai para pekerja berat yang tidak memungkinkan beralih kepada pekerjaan yang lain, diperbolehkan berbuka diganti dengan membayar fidyah. Adapun bagi wanita hamil dan yang menyusui pada asasnya keduanya tidak diperbolehkan berbuka, kecuali apabila dikhawatirkan bahaya menimpa kepada keduanya atau kepada bayinya. Dijajal dengan suatu percobaan pelaksanaan puasa ternyata dikhawatirkan bahayanya, atau menurut rekomendasi paramedic perlu kecukupan gizi yang harus dipenuhi, maka kedua golongan ini diperbolehkan berbuka. Menurut Ibnu Abas dan Ibnu Umar hendaknya mengganti puasanya dengan membayar  fidyah tanpa harus mengqadha. Dalam penilikan Ibnu Abas persoalan ini dianalogikan dengan orang yang sakit kronis menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya.

 Sangat disayangkan masih ada di antara yang mengaku muslim tetapi sengaja tidak berpuasa di Bulan Ramadhan. Tanpa rasa malu makan dan minum siang hari di tengah-tengan keramaian. Dalam keadaan ini ulama berpendapat jika sengaja tidak berpuasa di Bulan Ramadhan tanpa halangan syar’i dan ia meyakini bahwa pensyari’atanannya di dalam Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah nabi-Nya, maka orang tersebut dikategorikan pendosa besar (fasiq), tidak ada kewajiban qadha atas puasa yang ditinggalkannya, tetapi wajib bertaubat sepanjang hayat (taubatan nashuha) dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Bagi orang yang sengaja meninggalkan puasa di Bulan Ramadhan dan tidak meyakini pensyariatannya dari Al-Quran dan Sunnah Nabi saw., maka ia kufur dengan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama ini.

Adapun yang kelima Nabi saw. memberikan jawaban yang tercakup di dalam Islam yaitu berhaji ke Baitullah bagi yang mampu. Yang dimaksud dengan mampu di sini memiliki bekal dan kendaraan, bukan sekedar kemampuan untuk sampai ke sana, karena ia merupakan syarat pembebanan hukum (al-taklif).[1] Walaupun dipandang musykil pelaksanaan ibadah haji terpaut kuota dengan daftar antrian yang panjang berbelas tahun, bahkan mungkin ada yang berkecil hati dengan gumanan pertanyaan, “akankan sampai umur menginjakkan kaki di Baitullah?” tidak menggugurkan wasilah (perantara) pengumpulan dana secara material yang dipersiapkan. Daftar antrian kuota hanyalah suatu sistem dari pemerintahan sedangkan pengumpulan dana secara material urusan individual sebagai perwujudan niat. Amalan yang telah diniatkan sekiranya luput dari mewujudkannya karena satu dari berbagai hal, pahala mengerjakannya akan diraih oleh seseorang. Sebagaimana hadits mengungkapkan bahwa niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya[2], karena niat walaupun tanpa beramal akan mendapatkan pahala. Bagi yang telah mampu berhaji tetapi tidak menunaikannya, selama mengakui kefardhuannya, tidak dihukumi kufur oleh mayoritas ulama. Seandainya  yang bersangkutan mati dan tidak sempat menunaikan haji, padahal mampu, maka ia mati sebagai seorang yang durhaka.

Di dalam hadits tersebut  Jibril a.s. menanyakan perihal iman, kemudian Nabi saw, memberikan jawaban dengan Rukun-Rukun Iman yang enam. Pertama, Iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Iman kepada Allah  berarti membenarkan bahwa Dia ada (maujud) disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kemuliaan, disucikan dari sifat-sifat kekurangan. Dia Yang Esa, pasti bergantung semua makhluk kepada-Nya, Sang Pencipta semua makhluk, Yang bertindak terhadap sesuatu yang dikehendaki-Nya, Dia berbuat terhadap kerajaan-Nya apapun yang dikehendaki-Nya. Para Ulama memberikan uraian beriman kepada Allah mencakup: iman kepada wujudullah (keberadaan Allah), beriman kepada kerububiyahan-Nya, beriman kepada keuluhiyahan-Nya dan beriman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Karena iman itu membenarkan (al-tashdiq) yang disertai segala konsekuensinya, maka dipandang belum mencapai hakikat jika hanya pengakuan saja. Nama “Allah” sesungguhnya telah dikenal di kalangan Bangsa Arab Jahiliyah. Bahkan mereka mengakui Sang Pencipta, Pemelihara, Pengurus dan Pemberi Rezeki seluruh makhluk itu hanya Allah (kerububiyahan-Nya). Yang demikian disebutkan di dalam Q.S. Al-Ankabut Ayat ke-61:

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُۗ فَاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ ۝٦١

Terjemahannya: “Dan jika engkau bertanya kepada mereka, “siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi? Dan yang mengendalikan matahari dan bulan?” Pasti mereka akan menjawab: “Allah!” Maka mengapa mereka bisa dipalingkan?”

Mereka ingkar terhadap keuluhiyahan-Nya. Tidak mau tunduk untuk mengibadahi-Nya. Padahal kepatutatn kerubiyahan-Nya itu isyarat Dzat yang wajib diibadahi, sehubungan mereka telah terbelenggu mempertuhankan berhala-berhala sebagai bagian besar dari pewarisan leluhur yang mengekor diikuti tanpa ilmu. Jika dilihat dari asalnya berhala itu dibuat sebagai monument yang dibangun di atas kuburan orang yang salih untuk mengenang jasa-jasa mereka. Tetapi waktu berselang lama dari generasi ke generasi melewati tahun yang panjang orang kehilangan jejak dari asal-muasal pembangunan monument tersebut. Yang ada malahan menjadi memberhalakan monument tersebut. Jadi pada dasarnya orang menyembah patung adalah menyembah kuburan, mengkeramatkannya, dijadikan sarana buat meminta-minta kepada Allah melalui ahli kubur itu. Tugas Dakwah Muhamad saw. mengajak manusia bertauhid yang lurus. Bangsa Arab yang politeisme di Zaman Jahiliyah, yang mengakui akan kerububiyahan-Nya, tetapi ingkar terhadap keuluhiyahan-Nya, diperangi dengan pedang dan halal ditumpahkan darahnya. Harga sekeping keyakinan memang mahal dan itu resiko yang dihadapai oleh Nabi-Nabi sebelumnya dalam Sistem Hukum Allah. Bukankah ada Nabi yang digergaji terbelah badannya menjadi dua? Bukankah pengikut Nabi Isa a.s. diinjak-injak oleh kaumnya sehingga ususnya terburai keluar dari duburnya?

Rukun Iman yang kedua iman kepada Malaikat. Allah Ta’ala telah menyebutkan Rukun-Rukun Keyakinan di dalam Islam itu pada beberapa ayat di dalam Al-Quran. Dia menyebutkan di antara rukun keyakinan beriman kepada Malaikat seperti diungkapkan di dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat ke-177 dan 158, juga disebutkan di dalam Q.S. An-Nisa Ayat ke-136. Hadits yang sedang di bahas ini pun merupakan landasan keimanan kepada Malaikat. Iman kepada Malaikat merupakan satu rukun di antara rukun-rukun keimanan yang tidak sempurna kecuali dengannya. Barang siapa yang ragu-ragu beriman kepada Malaikat, atau berusaha meragukannya, berarti ia telah kafir dan tidak  menjadi bagian dari Islam, tidak ada posisi baginya di antara Kaum Muslimin. Karena kedustaannya kepada Allah, kepada Rasul-Nya  dan kepada mukminin. Juga karena keingkarannya terhadap premis-premis yang logik dan aksiomatik yang sukar terbantahkan.[3]

Malaikat merupakan jisim halus yang sewaktu-waktu di dalam melaksanakan tugasnya dapat menjelma menyerupai manusia. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak memiliki hawa nafsu, tidak berjenis kelamin, pada asalnya berdomisili di langit dan sewaktu-waktu turun ke bumi secepat kilat di dalam melaksanakan tugasnya. Keimanan Malaikat ini konstan, senantiasa mentaati Allah di dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ۝٦

Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6).

(BERSAMBUNG)


[1] ‘Uluwi Abu Bakr MUhamad Al-Qaf, Al Bayan Fi Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyat, Dar Al-Kutub Al-Islamiyat,Jakarta: 2014, hlm.

[2] H.R. At-Thabarani dinilai dha’if.

[3] Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri, ‘Aqidat Al-Mu’min, Dar Al-Fikr, Beirut: 1995, hlm. 122.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *