TAFSIR SURAT AN- NABA’

TAFSIR Q.S. AN – NABA’

            Nyaris semua topik di dalam Surat Makiyyah ketika membicarakan isu-isu hari kebangkitan  memberikan pernyataan penetapan keberadaannya dan penanaman keyakinan yang meliputinya. Gaya bahasa yang didatangkan adakalanya berbentuk sumpah atau menyodorkan dalil-dalil yang logik dan dalil-dalil yang dapat diserap secara inderawi  atas kemungkinan terjadinya; ataupun dengan cara menebar rasa ketakutan dan kesan-kesan mendalam yang teringkas dalam dua perkara: masuk ke Surga atau atau dihempas ke Neraka, karena al-tasyri’ al-makky ( legislasi hukum-hukum pada Periodesasi Mekah ) mengarahkan maksud secara umum dalam urusan bertata-keyakinan yang benar ( ‘aqa’id ) puncak urgensinya meng-Esakan Allah, membuang kemusyrikan, menetapkan kenabian atau risalah wahyu, penetapan keniscayaan Hari Kiamat dan merinci kedatangan Kiamat yang sangat dahsyat.[1]

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)

            Terjemahannya: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” ( 1 ) “Tentang berita yang besar ( hari berbangkit)” ( 2 ) “yang dalam hal itu mereka berselisih”( 3 ) “Tidak ! kelak mereka akanmmengetahui” ( 4 ) “Sekali lagi tidak ! kelak mereka akanmengetahui” ( 5 ).

            Dimulai surat yang mulia ini dengan pengkabaran Hari Kiamat, Hari kebangkitan dan Hari Pembalasan. Topik-topik ini yang dilalaikan ingatan kebanyakan kaum kafir Mekah  sehingga mereka ada pada posisi antara membenarkan dan mendustakan. Surat ini turun dengan background ketika Nabi saw.  menyeru kepada tauhid dan memberi kabar  tentang kebangkitan setelah kematian, beliau saw.  membacakan kepada mereka Al-Quran, mulailah saling bertanya diantara mereka, “Apa yang telah dibawa Muhamad dengan Al-Quran?” Diredaksikan Hari Kiamat dengan naba’i al-‘azhim. Berkenaan makna an-naba’u al-‘azhim ada tiga pendapat. Menurut Mujahid, Muqatil dan Al-Fara’ an-naba’u al-‘azhim bermakna Al-Quran, alasannya karena menjadi jawaban bagi kalimat bertanya ‘amma, seolah-olah bermakna: “bagi urusan apa mereka saling bertanya perihal Al-Quran?” kaum musyrik berselisih menilai Al-Quran, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa Al-Quran itu sihir, ada juga yang berpendapat Al-Quran itu syair-syair dan ada juga yang berpendapat bahwa Al-Quran hanya dongeng-dongeng belaka. Sedangkan menurut Az-Zujaj maknanya urusan Nabi saw. Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid: “An-Naba’u al-‘Azhim maknanya dibangkitkan setelah kematian.

            FirmanNya: “Alladzihum fihi mukhtalifun”, “Yang dalam hal itu mereka berselisih”. Maksud ayat ini ada dua golongan yang menyerap informasi perihal hari kiamat. Pertama, golongan yang tercegah dari pengingkaran, yaitu mukminin yang bertanya-tanya karena bertambah rasa takut terhadap fenomena hari kiamat. Kedua, golongan kafirin yang bertanya-tanya hanya untuk mengekspresikan sikap memperolok-olokan satu diantara pokok keimanan muslimin.[2]

            FirmanNya, “Kalla saya’lamun. Tsumma kalla saya’lamun” “Tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Sekali lagi tidak! Kelak mereka akan mengetahui.” Merupakan bentuk ungkapan pencegahan, maksud ayat ini merintangi kaum kafir bertanya-tanya mengenai hari kebangkitan karena mereka sendiri akan mengetahui kepastian keberadaannya. Sekiranya mereka melihat hari kebangkitan sebagai sesuatu yang nyata, niscaya akan mendapatkan akibat memperolok-olokannya.[3] Pengulangan kalimat ini dengan nada yang sama mengisyaratkan ancaman yang sangat pada kali yang kedua bahwa kiamat pasti terjadi mendahului hari kebangkitan. [4]

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهاداً (6) وَالْجِبالَ أَوْتاداً (7) وَخَلَقْناكُمْ أَزْواجاً (8) وَجَعَلْنا نَوْمَكُمْ سُباتاً (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِباساً (10)وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً (11)

Terjemahannya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, ( 6 ) dan gunung-gunung sebagai pasak?, ( 7 ) dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, ( 8 ) dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, ( 9 ) dan kami menjadikan malam sebagai pakaian ( 10 )dan kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan “( 11 ).

            Rentetan ayat ini menjelaskan nikmat-nikmat Allah yang melimpah ruah, dalam bentuk fenomena yang begitu jelas dapat diamati oleh pandangan manusia, yaitu:

  1. Bumi sebagai hamparan

Allah menciptakan bumi dalam keadaan terhampar untuk bercocok tanam, tempat menetap hidup manusia dan berbagai hayati dan jalan-jalan yang dapat ditempuh dari satu tempat ke tempat yang lain.

2. Gunung sebagai pasak bagi bumi

Allah menjadikan pasak bagi bumi dengan gunung sebagaimana rumah dikokohkan dengan tiang pancang sehingga tidak bergoyang penghuninya. Seorang mufti dari Mesir berpendapat, hanyasaja gunung menjadi pasak bumi karena ia muncul didalam bumi seumpama nampak pasak yang ditancapkan ke dalam tanah. Gunung berfungsi dalam pengokohan bumi, mencegah menjadi dataran yang luas dan goncangan. Sekiranya Allah tidak menganugerahkan gunung-gunung di bumi ini tentu bumi akan mengalami labil oleh banyak goncangan.

3. Diciptakan manusia berpasangan laki-laki dan perempuan

Penciptaan manusia berpasang-pasangan jenis laki-laki dan perempuan agar tumbuh rasa suka kepada beda jenis kelamin sehingga terjalin cinta dan kasih-sayang dalam lembaga pernikahan, saling menolong dalam meraih kebahagian hidup, memelihara keturunan dan menjadi sempurna tarbiyah.

            Terjemahannya:“Dan diantara tanda-tanda ( kebesaran )-Nya ialah Dia     menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan      diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-           benar terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berpikir.“            ( Q.S. Ar-Rum: 21 ).

4. Tidur untuk istirahat

Allah  menjadikan manusia tidur dalam terpal waktu pendek untuk kemanfaatan bagi kesehatan badan maupun kesehatan jiwa. Seolah-olah keadaan tidur seperti mati dalam kondisi  tidak merasakan sesuatu tetapi masih tetap hidup karena ruh tidak terpisah dari jasad. Ketika seseorang terbangun dari tidur akan merasakan kenikmatan kesegaran badan, hilang rasa penat setelah beraktifitas, bahkan aktifitas tidur sangat membantu dalam proses detoksifikasi dari racun-racun yang membahayakan tubuh, dengan manfaat seperti itu diraih kesempurnaan istirahat.

5. Malam sebagai pakaian

Dijadikan malam diliputi gelap-gulita ibarat pakaian yang menutupi jasad manusia. Kegelapan malam menutupi manusia dari pandangan musuh untuk menguntit apabila bersiasat lari dari serangan mereka. Kegelapan malam juga menjadi anugerah besar untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak pantas diketahui orang lain. Kegelapan malam sangat bermanfaat memberikan kenyamanan beristirahat sebagai anugerah yang sangat besar dari Allah ‘Azza wa Jalla.

6. Siang untuk mencari penghidupan

Allah menjadikan siang terang benderang agar mudah meraih pencaharian, melakukan berbagai transaksi,  perniagaan, bercocok tanam dan sebagainya bagi pemenuhan kebutuhan. Andai dijadikan kehidupan di dunia ini siang terus-menerus, niscaya kesempurnaan istirahat tidak akan pernah dirasakan. Dan andai dijadikan kehidupan di dunia ini malam terus-menerus, niscaya akan menyulitkan manusia mencurahkan kiprah hidup.

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)

Terjemahannya:“Dan kami membangun di atas kamu tujuh ( langit ) yang kukuh ( 12 ) Dan kami menjadikan pelita yang terang benderang( matahari ) ( 13 ) Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya ( 14 ) untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman ( 15 ) dan kebun-kebun yang rindang “( 16 ).

`           Firman-Nya: “Wa banaina fauqokum sab’ang syidada”, Kata syidadan merupakan bentuk jamak dari kata syadidatan maksudnya kokoh, sempurna tidak terpengaruh oleh perobahan zaman, diciptakan ibarat atap bagi bumi, firman-Nya:

{وَجَعَلْنَا السمآء سَقْفاً مَّحْفُوظاً} [الأنبياء: 32]

Terjemahannya: “Dan kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara. “ (Q.S. Al-Anbiya: 32 ).

 وقوله {والسمآء بَنَيْنَاهَا بِأَييْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات: 47]

Terjemahannya: “Dan langit kami bangun dengan kekuasaan ( kami ), dan kami benar-benar meluaskannya“( Q.S. Adz-Dzariyat: 47 ).

Pembuktian atas kekuasaan Allah membangkitkan manusia setelah kematian,  diciptakan tujuh langit tegak di atas kepala  tanpa tiang.  Dalam bahasa arab tujuh merupakan bilangan istimewa menunjukkan tak terhingga. Bisa jadi jawaban seorang kakek ketika ditanya berapa umurnya, tidak salah jika ia menjawab “umur saya sudah tujuh tahun”, maksudnya tujuh puluh tahun. Pada waktu malam, secara kasat mata, langit dihias dengan bintang-gemintang dan cahaya rembulan. Dibalik yang tersembunyi dari pandangan mata, ternyata langit itu tempat bedomisili para malaikat yang jumlahnya berlipat-lipat dari anak keturunan Adam. Tentu penciptaan langit yang sangat luas ditilik dari segi kompleksitas lebih sukar dari penciptaan makhluk kecil bernama manusia dan membangkitkannya kembali setelah kematian. Alangkah indah firmanNya berikut:

أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا

Terjemahannya: “Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat, ataukah langit yang telah dibangun-Nya?”

            Firman-Nya: “Wa ja’alna sirojaw wahhaja”, maksudnya Allah menjadikan matahari bercahaya dan sangat panas  menerangi seluruh belahan dunia yang menyala-nyala sinarnya bagi seluruh penduduk bumi. Kekuasaan dan anugerah-Nya matahari tetap berada di orbit dengan jarak tidak terlalu dekat dengan bumi yang akan menyebabkan bumi hangus terbakar, dan tidak terlalu jauh yang menyebabkan punah kehidupan karena hampir semua makhluk hidup dalam perkembangannya membutuhkan cahaya matahari. Seandainya seinci saja matahari bergeser dari orbitnya niscaya hancur dunia ini.

            Firman-Nya: “Wa angzalna minal mu’shiroti ma’ang  tsajjaja”, “Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya.”Al-Mu’shirot maksudnya awan dan mendung yang diproses dari uap air ketika menjadi hujan ibarat seorang perempuan aqil baligh yang telah dekat waktu haidhnya. Fenomena sebab hujan turun adakalanya ditiup oleh hembusan angin yang sangat kencang dan adakalanya ditumpahkan oleh sambaran petir yang menembus lapisan-lapisan langit. Sedangkan tsajjajan maknanya turun dengan deras. Imam Al-Zamakhsyari [6] menakwilkan, sesungguhnya air hujan turun dari langit melalui awan seolah-olah langit diperas.

            Firman-Nya: “Linukhrija bihi habbaw wanabata”, “untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman” maksudnya, Allah menurunkan air hujan untuk menumbuhkan biji-bijian  seperti gandum,  dan tanam-tanaman  seperti pohon Tin,  sebagai makanan bagi manusia dan hewan. Dalam persefsi Imam Al-Razi[7], hanyasaja Allah mendahulukan penyebutan al-hub ( biji-bijian ) karena yang pokok makanan bersumber dari biji-bijian. Di dalam ayat ini Allah menyanjung an-nabat ( tanam-tanaman ) karena kebutuhan hewan terhadapnya, sedangkan kata al-jannat ( kebun-kebun ) diakhirkan penyebutannya karena kebutuhan kepada buah-buahan tidak lebih penting daripada biji-bijian dan tanam-tanaman.

            Firman-Nya: “Wa jannatin alfafa”,dan kebun-kebun yang rindang “ maknanya, berhimpun pohon-pohon yang berdekatan.

(BERSAMBUNG)


[1] Wahbat bin Mushthafa Al-Zuhaili, Al-Tafsir Al-Wasith Li Al-Zuhaili, Dar Al-Fikr, Damaskus: 1422 H, Jld. III, hlm. 2805

[2] Abu Al-Barakat ‘Abd Allah bi Ahmad bin Mahmud Hafizh Al-Din Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil Wa haqa’iq Al-Ta’wil, Dar Al-Kalim Al-Thayib, Beirut: 1998, jld. III, hlm. 589.

[3] Muhamad Ai Al-Shabuni, Shafwat Al-Tafasir, Dar Al-Fikr, Beirut: 2001 M, jld. III, hlm. 483.

[4] Abu Su’ud Al-‘Imadiy Muhamad bin Muhamad bin Musthafa, Irsyad Al-‘Aql Al-Salim Ila Mazaya A-Kitab Al-Karim, Dar Al-Fikr, Beirut: t.t., jld. V, hlm. 811.

[5] Muhamad Jamal Al-Din bin Sa’id bin Qasim Al Halaq Al-Qasimiy, Tafsir Mahasin Al-Ta’wil, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1418 H, jld. IX, hlm. 389.

[6] Abu Al-Qasim Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Al-Zamakhsyari Jar Allah, Al-Kasyaf ‘An Haqa’iq Ghawamidh Al-Tanzil, Dar Al-Fikr, Beirut: 1408 H, jld. IV, hlm. 686.

[7] Abu ‘Abd Allah Muhamad Muhamad bin ‘Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Al-Taimiy Al-Razi Fakh Al-Din Al-Raziy, Mafatih Al-Ghaib, Dar Ihya’ Al-Turats, Beirut: 1420 H, jld. XXXI, hlm. 11.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *