Vila Ciruluk berdiri bukan sekadar sebagai sebuah bangunan fisik, melainkan sebagai monumen hidup yang merefleksikan dedikasi dan visi besar seorang tokoh lokal. Daerah yang dikenal dengan keindahan alam pedesaan khas tatar Sunda, menyimpan cerita inspiratif tentang transformasi sosial dan pemberdayaan masyarakat.
إنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17) يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا (18) وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا (19) وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا (20)
Terjemahannya: “
, hari keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan ( 17 ) ( Yaitu ) pada hari ( ketika ) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong”( 18 ).dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu, ( 19 ) dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia. ( 20 )
Maksudnya, sesungguhnya hari perhitungan, pembalasan dan pengadilan antara makhluk telah ditentukan yang diketahui dalam Ilmu Allah Ta’ala dan ketetapan-Nya, tidak dapat disegerakan waktunya dan tidak dapat diundurkan, sebagaimana didalam Q.S. Hud : 103 – 104 Allah berfirman:
ذلك يَوْمٌ مَّجْمُوعٌ لَّهُ الناس وَذَلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُودٌ وَمَا نُؤَخِّرُهُ إِلاَّ لأَجَلٍ مَّعْدُودٍ
Terjemahannya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan ( untuk dihisab ), dan itulah hari yang disaksikan ( oleh semua makhluk ). Dan kami tidak akan menunda kecuali sampai waktu yang ditentukan.”
Dinamai Yaum al-fashl ( Hari Putusan ) karena Allah Ta’ala memberi putusan pada hari itu dengan hukum-Nya diantara makhluk. Kemudian Allah menyebutkan tiga ciri hari tersebut:
- Firman-Nya: “Yauma yungfahu fish shuri fata’tuna afwaja” maksudnya, di hari ketika Israfil meniup terompet kemudian keluar manusia berbagai generasi dari kuburannya mendatangi suatu tempat yang lapang dalam keadaan berkelompok-kelompok. Setiap umat yang datang itu dampingi oleh rasulnya. Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ
Terjemahannya:” (Ingatlah ! ), pada hari ( ketika ) kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Q.S. Al-Isra: 71 ).
- Firman-Nya: “Wa futihatis sama’u”, “Dan langit pun dibukalah” disambungkan kepada kalimat, “fata’tuna”, “lalu kamu datang”, pengungkapannya dengan kata kerja bentuk lampau ( fi’il madhi ) untuk menyatakan keniscayaan terjadi. Ungkapan tersebut mengisyaratkan langit bukan terbuka sebagaimana sebuah pintu, tetapi menjadi terbelah sesuai dengan firman-Nya:
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
Terjemahannya: “Apabila langit terbelah”( Al-Infithar: 1 ).
Dan firman-Nya:
إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
Terjemahannya: “Apabila langit terbelah” ( Al-Insyiqaq: 1 )
Konon langit terbelah karena turun para malaikat setelah kematian mereka di kali pertama, kemudian Allah menghidupkan kembali di kali yang kedua dan turun semuanya di setaip penjuru dan di setiap arah menggiring manusia menuju Padang Mahsyar[1]. Firman-Nya:
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّماءُ بِالْغَمامِ، وَنُزِّلَ الْمَلائِكَةُ تَنْزِيلًا
Terjemahannya: “Dan( ingatlah ! ) pada hari ( ketika ) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para Malaikat diturunkan ( secara ) bergelombang.” ( Q.S. Al-Furqan: 25 ).
- Firman-Nya: ”Wa suyyirotil jibalu fakanat mirshoda”, “Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana” maksudnya, gunung-gunung digelincirkan dari tempatnya dan menjadi berserak-serakan diudara seperti berhamburan debu sehingga orang yang melihat menyangka fenomena itu sebuah fatamorgana. Dimulai kejadian itu dengan peristiwa benturan keras sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبالُ، فَدُكَّتا دَكَّةً واحِدَةً
Terjemahannya: “Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan.” ( Q.S. Al-Haqqah: 14 ).
Kemudian gunung menjadi seperti bulu yang diterbangkan. Didalam Q.S. Al-Qariah: 5 Allah berfirman:
وَتَكُونُ الْجِبالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
Terjemahannya: “Gunung menjadi seperti kapas yang dihamburkan”.
Kemudian gunung dikoyak-koyak, dihamburkan, sehingga menjadi seperti debu yang berhamburan di udara. Di dalam Q.S. Al-Waqi’ah Ayat 4 – 5 Allah Ta’ala menjelaskan:
إِذا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا، وَبُسَّتِ الْجِبالُ بَسًّا، فَكانَتْ هَباءً مُنْبَثًّا
Terjemahannya: “Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur-luluhkan sehancur-hancurnya.”
Kemudian gunung dihancurkan dari pelataran bumi dengan angin sebagaimana Allah berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْجِبالِ فَقُلْ: يَنْسِفُها رَبِّي نَسْفاً [طه 20/ 105]
Terjemahannya: “Dan mereka bertanya kepadamu ( Muhamad ) tentang gunung-gunung. Maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya ( pada hari kiamat) sehancur-hancurnya.” ( Q.S. Thaha: 105 ).
وَتَرَى الْجِبالَ تَحْسَبُها جامِدَةً، وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحابِ [النمل 27/ 88] » .
Terjemahannya: “ Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan ( seperti ) awan berjalan.” ( Q.S. An-Naml: 88).
إنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا (21) لِلطَّاغِينَ مَآبًا (22) لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا (23) لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (25) جَزَاءً وِفَاقًا (26) إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا (27) وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا (28) وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا (29) فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا (30)
Terjemahannya: “Sungguh, ( neraka ) Jahanam itu ( sebagai ) tempat mengintai ( bagi penjaga yang mengawasi isi neraka ) ( 21 ) menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melebihi batas ( 22 ) mereka tinggal disana dalam waktu yang lama ( 23 ) mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak ( pula mendapat ) minuman ( 24 ) selain air yang mendidih dan nanah ( 25 ) sebagai pembalasan yang setimpal ( 26 ) sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan ( 27 ) dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat kami ( 28 ) dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab ( buku catatan amal manusia ) ( 29 ) maka karena itu rasakanlah ! Maka tidak ada yang akan kami tambahkan kepadamu selain adzab ( 30)
Firman-Nya: “Inna jahannama kanat mirshoda”, “Sungguh, ( neraka ) Jahanam itu ( sebagai ) tempat mengintai ( bagi penjaga yang mengawasi isi neraka )”, maksudnyaNeraka Jahanam dalam hukum Allah dan ketetapan-Nya ada penjaganya disiapkan bagi orang-orang yang melewati batas, bertindak sewenang-wenang, membangkang dan menyelisihi para utusan.
Firman-Nya: “Lith thoghina ma’aba”, “ menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melebihi batas.” Ath-Thaghun merupakan bentuk jamak dari thogin dimaknai orang yang melewati batas. Melewati batas adakalanya terjadi didalam haq-haq Allah, umpamanya gegabah didalam melaksanakan kewajiban atau terjerumus melaksanakan yang diharamkan. Melewati batas adakalanya juga di dalam haq-haq sesama manusia, umpamanya berlaku aniaya terhadap hartanya, menumpahkan darahnya atau menodai kehormatannya. Berdasarkan ayat ini penghuni neraka yaitu orang-orang yang melewati batas terhadap haq-haq Allah dan haq-haq manusia[2]. Menurut persefsi Ibnu Abas Thoghin adalah orang-orang yang mensekutukan Allah.[3]
Firman-Nya: “Labitsina fiha ahqoba”, “mereka tinggal disana dalam waktu yang lama”, maksudnya mereka menetap di neraka selamanya, tidak pernah terputus waktu tanpa menikmati tidur. Diriwayatkan dari seluruh ulama salaf bahwa satu hari di akhirat seukuran seribu tahun di dunia[4]. Setiap berakhir masa dari satu macam siksaan datang masa yang baru dengan siksaan yang lain bentuknya. Menurut satu pendapat , diungkapkan dengan lafazh al-ahqob ( waktu yang lama ) bukan dengan lafazh al-ayyam ( hari-hari ) agar lebih memberikan efek rasa takut yang hebat di dalam hati dan agar menunjukkan kekekalannya. Firman Allah Ta’ala:
يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Terjemahannya: “Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.“(Al-Maidah: 37 ).
Kekal menjadi penghuni neraka yang ditunjuk ayat ini suatu kemestian bagi kaum musyrik, difahami secata kontekstual bagi para pendurhaka mukminin akan dikeluarkan dari neraka setelah rentang masa yang lama menjalani siksaan sebagai pembersih dari dosa.
Firman-Nya: “La yadzuquna fiha bardaw wala syaroba, iilla hamimaw waghossaqo”, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak ( pula mendapat ) minuman, selain air yang mendidih dan nanah”, maksudnya mereka dalam rentang masa yang teramat panjang, tanpa ada akhirnya, di dalam Jahanam tidak merasakan kesejukan yang memberi manfaat dari terpaan panasnya dan tidak ada minuman sebagai penawar dari rasa dahaga kecuali al-hamim, yaitu air panas yang menggelegak. Allah Ta’ala telah menjanjikan hanya satu jenis air dingin yang mengalir di Neraka Jahanam sebagai minuman bagi para penghuninya yaitu al-ghassaq. Imam Ar-Razi[5] memaknai al-ghassaq yaitu suatu cairan yang keluar dari mata dan kulit penghuni neraka berupa nanah, bisul, keringat dan semua dzat basah yang dipandang kotor dari jasad. Cairan tersebut selain sangat dingin suhunya juga berbau bau busuk yang menyengat. Hadits yang diterima melalui Sa’id Al-Khudri mengungkapkan:
"لَوْ أنَّ دَلْوًا مِنْ غَسَّاقٍ يُهْرَاقُ إلى الدُّنْيا لأنْتَن أهْلَ الدُّنْيا".
Terjemahannya: “Seandainya setimba nanah ( di akhirat ) ditumpahkan ke dunia niscaya menjadi bau busuk penghuni dunia.”
Firman-Nya: “Jaza’aw wifaqa”, “Sebagai balasan yang setimpal”, maknanya Allah menyiksa mereka dengan siksaan seperti itu sebagai balasan yang sesuai dengan amal buruknya.[6]
Firman-Nya: “Innahum kanu la yarjuna hisaba”, “sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan” maksudnya mereka mengerjakan amal kejelekan ketika hidup di dunia sekehendak yang diinginkan karena dalam benaknya tidak ada hari perhitungan yang ditunggu-tunggu, apalagi siksaan yang menimpanya. Motif seseorang mengerjakan berbagai kebaikan dan meninggalkan segala yang dilarang hanyasaja ketika terpatri keyakinan dari relung hatinya bahwa semua itu memberi kemanfaatan kelak di kehidupan akhirat, bagi orang yang mengingngkari tentu tidak akan menjadikan sebagai bekal amal kebaikan dan tidak akan mencegah untuk mengerjakan kejelekan ( Al-Maraghi, X, 2001 M : ). Dengan kata lain, mereka tidak mengimani hari kebangkitan, pembalasan amal kebaikan dan amal keburukan sehingga mengabaikan beramal bagi kehidupan akhirat ( As- sa’adi, 1431 H : 1072 ).
Firman-Nya: “Wa kadzdzabu bi ayatina kidzdzaba”, “dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat kami”, maksudnya mereka mendustakan ayat-ayat Allah secara terang-terangan dan berpaling dari kebenaran ketika telah datang berbagai penjelasan.[7] Bisa jadi kedustaan mereka terhadap Al-Quran atau lebih umum berbuat kedustaan yang sangat besar.[8]
Firman-Nya: “Wa kulla syai’in ahshoinahu kitaba”, “dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab ( buku catatan amal manusia )” maksudnya, Allah mengetahui seluruh amal hamba-hamba-Nya, mencatat-Nya dan kelak Dia memberikan balasan atas itu, jika amal hamba itu baik dibalas dengan pahala kebaikan dan jika amal hamba itu buruk akan diberi sanksi berupa siksa-Nya.[9]
Firman-Nya, “fadzuqu .......” Abu Barzah pernah bertanya kepada Nabi saw. mengenai ayat yang paling keras di dalam Al-Quran, beliau saw. membacakan ayat ini.[10] Kedasyatan siksaan Neraka diilustrasikan diantaranya oleh dua ayat berikut:
كُلَّما نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْناهُمْ جُلُوداً غَيْرَها
Terjemahannya: “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.” ( Q.S. Al-Isra’: 56 ).
وكُلَّما خَبَتْ زِدْناهُمْ سَعِيراً [الاسراء: 97].
Terjemahannya: “Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya.”( Q.S. Al-Isra’: 97 ).
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (31) حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (32) وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (33) وَكَأْسًا دِهَاقًا (34) لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا (35) جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا (36) رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا (37)يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا (38) ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا (39) إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا (40)
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, ( 31 ) (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, ( 32 ) dan gadis-gadis remaja yang sebaya, ( 33 ) dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). ( 34 ) Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. (35 ) “Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, ( 36 ) Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. ( 37 ) Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. ( 38 ) Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. ( 39 ) Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah". ( 40 )
Ayat ini merupakan permulaan Surat An-Naba dalam menjelaskan keadaan mukminin dan yang di janjikan berupa pahala kebaikan setelah menjelaskan keadaan kafirin dan sesuatu yang dijanjikan atas mereka berupa kejelekan.[11] Di dalam Tafsir Taisir Al-karim Ar-Rahman, As-Sa’adi[12] mempersefsi muttaqin yang digembirakan dengan Surga-Nya yaitu mereka yang takut terhadap kemurkaan Tuhannya yang direfleksikan dengan cara teguh melaksanakan ketaatan dan membersihkan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai Allah.
Penghuni Surga mengenyam kenikmatan di dalam sebuah taman yang dipagari beragam pepohonan, buah-buahan dan anggur yang lezat rasanya. Mereka ditemani para bidadari surgawi yang muda-belia berparas cantik jelita dan molek postur tubuhnya. Mereka mereguk khomer surga yang tidak memabukkan memenuhi gelas-gelasnya. Di dalam Surga mereka tidak akan mendegar ucapan bathil, tidak ada dusta diantara mereka, mengisyaratkan lokasi steril dari kemaksiyatan dan perbuatan aniaya serta ketinggian etika para penghuninya, ketentraman jiwanya yang tidak ternodai dengan ucapan yang menyimpang dari kebenaran.[13]
Dalam ayat ke-37 Allah memberikan penegasan bahwa Dia Rab yang memberi karunia balasan kebaikan yang disifati dengan keagungan dan kemuliaan; Pencipta dan pengurus langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada pada keduanya dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya; Maha Pengasih, kasih-sayang-Nya meliput segala sesuatu; di hari yang sangat mencekam itu Jibril dan para malaikat pilihan berdiri dalam keadaan takut sehingga tidak kuasa berkata-kata di hadapan Allah. Dalam Pandangan Imam Ash-Shawi,[14] Malaikat saja seutama-utama makhluk dan sedekat- dekat derajat di sisi Allah tidak kuasa berkata-kata memberi syafaat kecuali dengan izin Allah, bagaimana makhluk selainnya memiliki kemampuan dalam memberi syafaat?
Hanyasaja kategori manusia yang diizinkan berkata-kata dengan Allah pada waktu itu yang memenuhi dua persyaratan, yaitu:
- Orang yang diberi izin dari Allah untuk memberikan syafaat sebagaimana difirmankan:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Terjemahannya: “Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin- Nya?” ( Q.S. Al-Baqarah: 255 ).
يَوْمَ يَأْتِ لا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Terjemahannya: “Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya.” ( Q.S. Hud: 105 ).
- Orang yang diberi izin dari Allah untuk dianugerahi syafaat, mereka senantiasa yang mengukir manis pada bibirnya ketika di dunia dengan kalimah thayyibah “La ilaha illalloh” penuh keyakinan meresapi maknanya dan diaplikasikan dalam kehidupan keseharian.
Firman-Nya: “Dzalikal yaumul haq”, “Itulah hari yang pasti terjadi”. Isim isyarah (kata yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu) ذلك dalam ayat ini kembali kepada hari kebangkitan yaitu suatu hari ketika seluruh manusia berdiri di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin untuk dihisab dan diberi balasan merupakan hari yang tidak ada keraguan terjadinya.
Firman-Nya: “famang sya’at takhodza ila robbihi ma’aba”, maksudnya sebagai tempat kembali yang dibuktikan dengan melaksanakan kesalihan.[15]
Firman-Nya: “Inna angzharnakum ‘adzabang qoriba”, merupakan kalimat tambahan untuk memberikan rasa ketakutan bagi kaum kafir, diungkapkan dengan memberikan peringatan agar menyampaikan puncak ketakutan yang mendalam kepada siksa akhirat.
Firman-Nya: “Yauma yangzhurul mar’u ma qoddamat yadah”, maksudnya akan dihadapkan semua amalan baik dan buruk yang telah lalu dan yang terkemudian sebagaimana Allah berfirman:
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا
Terjemahannya: “dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” ( Q.S. Al-Kahfi: 49 ).
يُنَبَّأُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ.
Terjemahannya: “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” ( Al-Qiyamah: 13 ).
Firman-Nya: “Wa yaqulul kafiru yalaitani kungtu turoba”. Menurut ayat ini orang kafir berangan-angan agar menjadi tanah saja ketika di kehidupan dunia, tidak diciptakan menjadi manusia, karena menyaksikan kedahsyatan rupa-rupa siksaan yang telah dijanjikan Allah. Al-Sayuthi[16] menukil periwayatan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa ia berkata:
يحْشر الْخَلَائق كلهم يَوْم الْقِيَامَة الْبَهَائِم وَالدَّوَاب وَالطير وكل شَيْء فَيبلغ من عدل الله أَن يَأْخُذ للجماء من القرناء ثمَّ يَقُول: كوني تُرَابا فَذَلِك حِين يَقُول الْكَافِر: {يَا لَيْتَني كنت تُرَابا}
“Dikumpulkan seluruh makhluk dari jenis hewan ternak, melata, burung dan segala sesuatu pada hari kiamat sehingga sampai keadilan Allah memenuhi permohonan seekor domba yang patah tanduknya agar diambil tanduk dari domba yang mematahkannya, kemudian Allah berfirman: “Jadilah kalian tanah!” ketika itu orang kafir berkata: “Ya laitani kuntu turoba”, “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.”
[1] Ahmad Bin Muhamad Al-Shawi, Hasyiyat Al-Shawi, Usaha Keluarga, Semarang: t.t., jld. IV, hlm. 28.
[2] Muhamad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma, Dar Al-Tsurya, Riyadh: 2002, hlm. 30.
[3] Jamal Al-Din Abu Al-Farj ‘Abd Ar-Rahman bin Muhamad Al-Jauzi, Zad Al-Masir Fi ‘Ilm Al-Tafsir, Dar Al-KItab Al’Arabi, Beirut: 1422 H, juz. IV, hlm. 389.
[4] Al-Alusi, Syihab Al-Din Mahmud bin ‘Abd Allah Al- Husaini Al-Lusi, Ruh Al-Ma’ani ,Dar Al-Fikr: t.t., Juz. XXX, hlm. 24.
[5] Abu ‘Abd Allah Muhamad bin Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Al-Taimi Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut: 1420 H, Jld.XXXI, hlm. 17.
[6] Muhamad ‘Ali Al-Shabuni, Shafwat Al-Tafasir, Dar Al-Fikr Beirut: 2001, jld. III , hlm.484.
[7] ‘Abd Al-Rahman bin Nashir bin ‘Abd Allah Al-Sa’adi, Taisir Al-Karim Al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Mu’assasat Al-Risalat, Al-Madinah Al-Munawarah: 1431 H, hlm. 1072.
[8] Abu Al-Thayib Muhamad Shidiq Khan bin Hasan bin ‘Ali Ibn Luthf Allah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawazi, Fath Al-Bayan Fi Maqashid Al-Quran, Al-Maktabat Al-‘Ashriyat Lil Thaba’at Wa Al-Nasyr Shaida, Beirut: 1992, jld. XV, hlm. 39.
[9] Abu Al-Fida’ Ismail bin ‘Umar bin Katsir Al-Qurasyiyi Al-Bashari Al-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran Al’Azhim Dar Al-Fikr, Beirut: 1992, jld. IV, hlm. 560.
[10] Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhamad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al- Anshari, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Dar Al-Kitab Al- Mishriyat, Kairo: 1964, jld. IXX, hlm. 183.
[11] Abu Al-Thayib Muhamad Shidiq Khan bin Hasan bin ‘Ali Ibn Luthf Allah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawazi, Fath Al-Bayan Fi Maqashid Al-Quran, Al-Maktabat Al-‘Ashriyat Lil Thaba’at Wa Al-Nasyr Shaida, Beirut: 1992, jld. XV, hlm. 41.
[12] Abd Al-Rahman bin Nashir bin ‘Abd Allah Al-Sa’adi, Taisir Al-Karim Al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Mu’assasat Al-Risalat, Al-Madinah Al-Munawarah: 1431 H, hlm. 1073.
[13] Wahbat bin Mushtafa Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Fi Al-‘Aqidat Wa Al-Syari’at Wa Al-Manhaj, Dar Al-Fikr Al-Ma’ashir, Damaskus: 2005, jld. XV, hlm. 387.
[14] Ahmad Bin Muhamad Al-Shawi, Hasyiyat Al-Shawi, Usaha Keluarga, Semarang: t.t., jld. IV, hlm. 28.
[15] Abu Al-Barakat ‘Abd Allah bin Ahmad bin Mahmud Hafizh Al-Din Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil Wa Haqa’iq Al-Ta’wil, Dar Al-Kalim Al-Thayib, Beirut: 1998, jld. III, hlm. 593.
[16] ‘Abd Al-Rahman bin Abi Bakr Jalal Al-Din Al-Sayuthi, Al-Dur Al-Mantsur Fi Tafsir Bi Al-Mantsur, Dar Al-Fikr, Beirut: 2009, jld. VI, hlm. 507.
TAFSIR Q.S. AN – NABA’
Nyaris semua topik di dalam Surat Makiyyah ketika membicarakan isu-isu hari kebangkitan memberikan pernyataan penetapan keberadaannya dan penanaman keyakinan yang meliputinya. Gaya bahasa yang didatangkan adakalanya berbentuk sumpah atau menyodorkan dalil-dalil yang logik dan dalil-dalil yang dapat diserap secara inderawi atas kemungkinan terjadinya; ataupun dengan cara menebar rasa ketakutan dan kesan-kesan mendalam yang teringkas dalam dua perkara: masuk ke Surga atau atau dihempas ke Neraka, karena al-tasyri’ al-makky ( legislasi hukum-hukum pada Periodesasi Mekah ) mengarahkan maksud secara umum dalam urusan bertata-keyakinan yang benar ( ‘aqa’id ) puncak urgensinya meng-Esakan Allah, membuang kemusyrikan, menetapkan kenabian atau risalah wahyu, penetapan keniscayaan Hari Kiamat dan merinci kedatangan Kiamat yang sangat dahsyat.[1]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)
Terjemahannya: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” ( 1 ) “Tentang berita yang besar ( hari berbangkit)” ( 2 ) “yang dalam hal itu mereka berselisih”( 3 ) “Tidak ! kelak mereka akanmmengetahui” ( 4 ) “Sekali lagi tidak ! kelak mereka akanmengetahui” ( 5 ).
Dimulai surat yang mulia ini dengan pengkabaran Hari Kiamat, Hari kebangkitan dan Hari Pembalasan. Topik-topik ini yang dilalaikan ingatan kebanyakan kaum kafir Mekah sehingga mereka ada pada posisi antara membenarkan dan mendustakan. Surat ini turun dengan background ketika Nabi saw. menyeru kepada tauhid dan memberi kabar tentang kebangkitan setelah kematian, beliau saw. membacakan kepada mereka Al-Quran, mulailah saling bertanya diantara mereka, “Apa yang telah dibawa Muhamad dengan Al-Quran?” Diredaksikan Hari Kiamat dengan naba’i al-‘azhim. Berkenaan makna an-naba’u al-‘azhim ada tiga pendapat. Menurut Mujahid, Muqatil dan Al-Fara’ an-naba’u al-‘azhim bermakna Al-Quran, alasannya karena menjadi jawaban bagi kalimat bertanya ‘amma, seolah-olah bermakna: “bagi urusan apa mereka saling bertanya perihal Al-Quran?” kaum musyrik berselisih menilai Al-Quran, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa Al-Quran itu sihir, ada juga yang berpendapat Al-Quran itu syair-syair dan ada juga yang berpendapat bahwa Al-Quran hanya dongeng-dongeng belaka. Sedangkan menurut Az-Zujaj maknanya urusan Nabi saw. Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid: “An-Naba’u al-‘Azhim maknanya dibangkitkan setelah kematian.
FirmanNya: “Alladzihum fihi mukhtalifun”, “Yang dalam hal itu mereka berselisih”. Maksud ayat ini ada dua golongan yang menyerap informasi perihal hari kiamat. Pertama, golongan yang tercegah dari pengingkaran, yaitu mukminin yang bertanya-tanya karena bertambah rasa takut terhadap fenomena hari kiamat. Kedua, golongan kafirin yang bertanya-tanya hanya untuk mengekspresikan sikap memperolok-olokan satu diantara pokok keimanan muslimin.[2]
FirmanNya, “Kalla saya’lamun. Tsumma kalla saya’lamun” “Tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Sekali lagi tidak! Kelak mereka akan mengetahui.” Merupakan bentuk ungkapan pencegahan, maksud ayat ini merintangi kaum kafir bertanya-tanya mengenai hari kebangkitan karena mereka sendiri akan mengetahui kepastian keberadaannya. Sekiranya mereka melihat hari kebangkitan sebagai sesuatu yang nyata, niscaya akan mendapatkan akibat memperolok-olokannya.[3] Pengulangan kalimat ini dengan nada yang sama mengisyaratkan ancaman yang sangat pada kali yang kedua bahwa kiamat pasti terjadi mendahului hari kebangkitan. [4]
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهاداً (6) وَالْجِبالَ أَوْتاداً (7) وَخَلَقْناكُمْ أَزْواجاً (8) وَجَعَلْنا نَوْمَكُمْ سُباتاً (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِباساً (10)وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً (11)
Terjemahannya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, ( 6 ) dan gunung-gunung sebagai pasak?, ( 7 ) dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, ( 8 ) dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, ( 9 ) dan kami menjadikan malam sebagai pakaian ( 10 )dan kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan “( 11 ).
Rentetan ayat ini menjelaskan nikmat-nikmat Allah yang melimpah ruah, dalam bentuk fenomena yang begitu jelas dapat diamati oleh pandangan manusia, yaitu:
- Bumi sebagai hamparan
Allah menciptakan bumi dalam keadaan terhampar untuk bercocok tanam, tempat menetap hidup manusia dan berbagai hayati dan jalan-jalan yang dapat ditempuh dari satu tempat ke tempat yang lain.
2. Gunung sebagai pasak bagi bumi
Allah menjadikan pasak bagi bumi dengan gunung sebagaimana rumah dikokohkan dengan tiang pancang sehingga tidak bergoyang penghuninya. Seorang mufti dari Mesir berpendapat, hanyasaja gunung menjadi pasak bumi karena ia muncul didalam bumi seumpama nampak pasak yang ditancapkan ke dalam tanah. Gunung berfungsi dalam pengokohan bumi, mencegah menjadi dataran yang luas dan goncangan. Sekiranya Allah tidak menganugerahkan gunung-gunung di bumi ini tentu bumi akan mengalami labil oleh banyak goncangan.
3. Diciptakan manusia berpasangan laki-laki dan perempuan
Penciptaan manusia berpasang-pasangan jenis laki-laki dan perempuan agar tumbuh rasa suka kepada beda jenis kelamin sehingga terjalin cinta dan kasih-sayang dalam lembaga pernikahan, saling menolong dalam meraih kebahagian hidup, memelihara keturunan dan menjadi sempurna tarbiyah.
Terjemahannya:“Dan diantara tanda-tanda ( kebesaran )-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berpikir.“ ( Q.S. Ar-Rum: 21 ).
4. Tidur untuk istirahat
Allah menjadikan manusia tidur dalam terpal waktu pendek untuk kemanfaatan bagi kesehatan badan maupun kesehatan jiwa. Seolah-olah keadaan tidur seperti mati dalam kondisi tidak merasakan sesuatu tetapi masih tetap hidup karena ruh tidak terpisah dari jasad. Ketika seseorang terbangun dari tidur akan merasakan kenikmatan kesegaran badan, hilang rasa penat setelah beraktifitas, bahkan aktifitas tidur sangat membantu dalam proses detoksifikasi dari racun-racun yang membahayakan tubuh, dengan manfaat seperti itu diraih kesempurnaan istirahat.
5. Malam sebagai pakaian
Dijadikan malam diliputi gelap-gulita ibarat pakaian yang menutupi jasad manusia. Kegelapan malam menutupi manusia dari pandangan musuh untuk menguntit apabila bersiasat lari dari serangan mereka. Kegelapan malam juga menjadi anugerah besar untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak pantas diketahui orang lain. Kegelapan malam sangat bermanfaat memberikan kenyamanan beristirahat sebagai anugerah yang sangat besar dari Allah ‘Azza wa Jalla.
6. Siang untuk mencari penghidupan
Allah menjadikan siang terang benderang agar mudah meraih pencaharian, melakukan berbagai transaksi, perniagaan, bercocok tanam dan sebagainya bagi pemenuhan kebutuhan. Andai dijadikan kehidupan di dunia ini siang terus-menerus, niscaya kesempurnaan istirahat tidak akan pernah dirasakan. Dan andai dijadikan kehidupan di dunia ini malam terus-menerus, niscaya akan menyulitkan manusia mencurahkan kiprah hidup.
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Terjemahannya:“Dan kami membangun di atas kamu tujuh ( langit ) yang kukuh ( 12 ) Dan kami menjadikan pelita yang terang benderang( matahari ) ( 13 ) Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya ( 14 ) untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman ( 15 ) dan kebun-kebun yang rindang “( 16 ).
` Firman-Nya: “Wa banaina fauqokum sab’ang syidada”, Kata syidadan merupakan bentuk jamak dari kata syadidatan maksudnya kokoh, sempurna tidak terpengaruh oleh perobahan zaman, diciptakan ibarat atap bagi bumi, firman-Nya:
{وَجَعَلْنَا السمآء سَقْفاً مَّحْفُوظاً} [الأنبياء: 32]
Terjemahannya: “Dan kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara. “ (Q.S. Al-Anbiya: 32 ).
وقوله {والسمآء بَنَيْنَاهَا بِأَييْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات: 47]
Terjemahannya: “Dan langit kami bangun dengan kekuasaan ( kami ), dan kami benar-benar meluaskannya“( Q.S. Adz-Dzariyat: 47 ).
Pembuktian atas kekuasaan Allah membangkitkan manusia setelah kematian, diciptakan tujuh langit tegak di atas kepala tanpa tiang. Dalam bahasa arab tujuh merupakan bilangan istimewa menunjukkan tak terhingga. Bisa jadi jawaban seorang kakek ketika ditanya berapa umurnya, tidak salah jika ia menjawab “umur saya sudah tujuh tahun”, maksudnya tujuh puluh tahun. Pada waktu malam, secara kasat mata, langit dihias dengan bintang-gemintang dan cahaya rembulan. Dibalik yang tersembunyi dari pandangan mata, ternyata langit itu tempat bedomisili para malaikat yang jumlahnya berlipat-lipat dari anak keturunan Adam. Tentu penciptaan langit yang sangat luas ditilik dari segi kompleksitas lebih sukar dari penciptaan makhluk kecil bernama manusia dan membangkitkannya kembali setelah kematian. Alangkah indah firmanNya berikut:
أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا
Terjemahannya: “Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat, ataukah langit yang telah dibangun-Nya?”
Firman-Nya: “Wa ja’alna sirojaw wahhaja”, maksudnya Allah menjadikan matahari bercahaya dan sangat panas menerangi seluruh belahan dunia yang menyala-nyala sinarnya bagi seluruh penduduk bumi. Kekuasaan dan anugerah-Nya matahari tetap berada di orbit dengan jarak tidak terlalu dekat dengan bumi yang akan menyebabkan bumi hangus terbakar, dan tidak terlalu jauh yang menyebabkan punah kehidupan karena hampir semua makhluk hidup dalam perkembangannya membutuhkan cahaya matahari. Seandainya seinci saja matahari bergeser dari orbitnya niscaya hancur dunia ini.
Firman-Nya: “Wa angzalna minal mu’shiroti ma’ang tsajjaja”, “Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya.”Al-Mu’shirot maksudnya awan dan mendung yang diproses dari uap air ketika menjadi hujan ibarat seorang perempuan aqil baligh yang telah dekat waktu haidhnya. Fenomena sebab hujan turun adakalanya ditiup oleh hembusan angin yang sangat kencang dan adakalanya ditumpahkan oleh sambaran petir yang menembus lapisan-lapisan langit. Sedangkan tsajjajan maknanya turun dengan deras. Imam Al-Zamakhsyari [6] menakwilkan, sesungguhnya air hujan turun dari langit melalui awan seolah-olah langit diperas.
Firman-Nya: “Linukhrija bihi habbaw wanabata”, “untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman” maksudnya, Allah menurunkan air hujan untuk menumbuhkan biji-bijian seperti gandum, dan tanam-tanaman seperti pohon Tin, sebagai makanan bagi manusia dan hewan. Dalam persefsi Imam Al-Razi[7], hanyasaja Allah mendahulukan penyebutan al-hub ( biji-bijian ) karena yang pokok makanan bersumber dari biji-bijian. Di dalam ayat ini Allah menyanjung an-nabat ( tanam-tanaman ) karena kebutuhan hewan terhadapnya, sedangkan kata al-jannat ( kebun-kebun ) diakhirkan penyebutannya karena kebutuhan kepada buah-buahan tidak lebih penting daripada biji-bijian dan tanam-tanaman.
Firman-Nya: “Wa jannatin alfafa”, “dan kebun-kebun yang rindang “ maknanya, berhimpun pohon-pohon yang berdekatan.
(BERSAMBUNG)
[1] Wahbat bin Mushthafa Al-Zuhaili, Al-Tafsir Al-Wasith Li Al-Zuhaili, Dar Al-Fikr, Damaskus: 1422 H, Jld. III, hlm. 2805
[2] Abu Al-Barakat ‘Abd Allah bi Ahmad bin Mahmud Hafizh Al-Din Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil Wa haqa’iq Al-Ta’wil, Dar Al-Kalim Al-Thayib, Beirut: 1998, jld. III, hlm. 589.
[3] Muhamad Ai Al-Shabuni, Shafwat Al-Tafasir, Dar Al-Fikr, Beirut: 2001 M, jld. III, hlm. 483.
[4] Abu Su’ud Al-‘Imadiy Muhamad bin Muhamad bin Musthafa, Irsyad Al-‘Aql Al-Salim Ila Mazaya A-Kitab Al-Karim, Dar Al-Fikr, Beirut: t.t., jld. V, hlm. 811.
[5] Muhamad Jamal Al-Din bin Sa’id bin Qasim Al Halaq Al-Qasimiy, Tafsir Mahasin Al-Ta’wil, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1418 H, jld. IX, hlm. 389.
[6] Abu Al-Qasim Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Al-Zamakhsyari Jar Allah, Al-Kasyaf ‘An Haqa’iq Ghawamidh Al-Tanzil, Dar Al-Fikr, Beirut: 1408 H, jld. IV, hlm. 686.
[7] Abu ‘Abd Allah Muhamad Muhamad bin ‘Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Al-Taimiy Al-Razi Fakh Al-Din Al-Raziy, Mafatih Al-Ghaib, Dar Ihya’ Al-Turats, Beirut: 1420 H, jld. XXXI, hlm. 11.
Kajian menuntut ilmu dalam Islam menekankan pentingnya mencari pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, sebagai bentuk ibadah dan kewajiban bagi setiap Muslim. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai kunci menuju kesuksesan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Kewajiban dan Keutamaan Menuntut Ilmu:
- Menuntut ilmu adalah kewajiban yang ditegaskan dalam Al-Qur'an dan hadis.
- Ilmu dianggap sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Orang yang berilmu memiliki keutamaan di sisi Allah dan dihormati oleh orang lain.
- Ilmu membantu manusia untuk memahami agama, menjalankan ibadah, dan memperbaiki diri.
- Menuntut ilmu dapat meningkatkan kualitas hidup dan martabat seseorang.
Tujuan Menuntut Ilmu :
- Menuntut ilmu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, mengusir kebodohan, dan mendapatkan petunjuk kebenaran.
- Ilmu dunia digunakan untuk memudahkan hidup di dunia, sedangkan ilmu akhirat digunakan untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat, keduanya saling berkaitan dan penting untuk dikuasai.
Manfaat Menuntut Ilmu :
- Ilmu bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup, meraih kesuksesan, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Ilmu juga membantu manusia untuk memahami dan menjalankan ajaran agama dengan benar.
- Dengan ilmu, manusia dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Lembaga pendidikan agama Islam, untuk membentuk karakter dan moralitas santri melalui pendidikan keagamaan
Berperan dalam membentuk dasar pengetahuan, sikap, dan keterampilan sejak usia dini








