Berbuat Kebaikan Kecil sebagai Investasi Akhirat: Perspektif Islam

Oleh: H. Arief Kusuma

(Ketua Dewan Pembina Yayasan AminaHusen)

Bagian 1: Pendahuluan (Konsep Investasi Akhirat)

Dalam dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan berorientasi pada pencapaian material, konsep investasi seringkali dimaknai secara sempit sebagai penanaman modal untuk memperoleh keuntungan finansial di masa depan. Manusia berlomba-lomba mengumpulkan aset duniawi, merencanakan keamanan finansial untuk masa tua, dan mewariskan kekayaan bagi generasi penerus. Namun demikian, perspektif ajaran Islam menawarkan sebuah paradigma investasi yang jauh lebih luas dan fundamental, yakni investasi untuk kehidupan abadi setelah kematian—investasi akhirat.

Ajaran Islam secara konsisten menekankan bahwa kehidupan di dunia ini bersifat fana, hanyalah persinggahan sementara dalam perjalanan panjang menuju keabadian. Sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta\’ala dalam Al-Quran Al-Karim, Surah Al-Hadid ayat 20:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat mulia ini mengingatkan bahwa gemerlap dunia seisinya, meskipun tampak memukau, pada hakikatnya adalah kesenangan yang menipu dan akan sirna. Kehidupan yang sesungguhnya, yang kekal dan abadi, adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, seorang Muslim yang bijak tidak akan terperdaya oleh pesona duniawi semata, melainkan akan senantiasa mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan setelah kematian. Persiapan bekal inilah yang dapat dianalogikan sebagai bentuk investasi paling hakiki, investasi akhirat.

Investasi akhirat ini tidak diwujudkan melalui transaksi saham, obligasi, atau properti, melainkan melalui amal perbuatan baik (amal shalih) yang dilakukan selama hidup di dunia dengan niat tulus mengharap ridha Allah SWT. Setiap kebaikan yang ditanam di dunia akan menjadi aset berharga yang buahnya akan dipetik di akhirat kelak. Menariknya, Islam mengajarkan bahwa investasi akhirat tidak melulu harus berupa amal besar yang membutuhkan pengorbanan luar biasa. Justru, perbuatan-perbuatan baik yang tampak kecil, sederhana, dan seringkali terabaikan dalam pandangan manusia, memiliki potensi nilai investasi yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara komprehensif dan mendalam mengenai makna, ragam bentuk, keutamaan, serta landasan dalil dari Al-Quran dan Hadits shahih mengenai perbuatan kebaikan kecil sebagai wujud nyata investasi akhirat dalam perspektif Islam. Pembahasan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya setiap amal baik, sekecil apapun, dan memotivasi kita untuk senantiasa menanam benih-benih kebaikan sebagai bekal menuju kebahagiaan abadi di sisi Allah Subhanahu wa Ta\’ala.

Bagian 2: Memahami Makna dan Ruang Lingkup Kebaikan Kecil (Al-Ma\’ruf)

Setelah memahami urgensi investasi akhirat, langkah selanjutnya adalah mendalami esensi dari modal utama investasi tersebut, yakni perbuatan baik atau amal shalih. Dalam terminologi Islam, kebaikan seringkali diistilahkan dengan al-ma\’ruf, sebuah konsep yang mencakup segala sesuatu yang dipandang baik, pantas, dan benar menurut syariat Islam serta akal sehat. Ruang lingkup al-ma\’ruf sangatlah luas, melampaui sekadar tindakan-tindakan besar yang kasat mata atau pengorbanan material yang signifikan.

Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan, sekecil apapun, memiliki nilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta\’ala, asalkan dilandasi dengan niat yang tulus (ikhlas) semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya. Niat memegang peranan krusial; ia adalah ruh dari setiap amalan. Sebuah perbuatan yang tampak remeh di mata manusia bisa menjadi bernilai agung di hadapan Allah jika disertai niat yang benar, sebaliknya, amal besar pun bisa sia-sia jika tercampuri niat yang keliru seperti riya\’ (ingin dilihat orang) atau sum\’ah (ingin didengar orang).

Penegasan mengenai perhitungan amal sekecil apapun secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, khususnya dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7-8:

“Fa may ya\’mal misqaala zarratin khairay yarah. Wa may ya\’mal misqaala zarratin sharray yarah.”

Artinya: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Kata zarrah dalam ayat ini seringkali diartikan sebagai partikel terkecil, seperti atom atau debu yang beterbangan. Ini memberikan pemahaman mendalam bahwa tidak ada satu pun perbuatan baik, sekecil dan seringan apapun itu, yang akan luput dari perhitungan dan balasan Allah SWT. Setiap senyuman tulus, setiap kata baik yang menyejukkan hati, setiap langkah ringan untuk menolong sesama, semuanya tercatat dan memiliki bobot nilai sebagai investasi akhirat.

Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam, sebagai teladan utama umat Islam, juga senantiasa menekankan pentingnya tidak meremehkan kebaikan, sekecil apapun bentuknya. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Beliau bersabda:

“Laa tahqironna minal ma\’ruufi shai\’an walau an talqo akhooka biwajhin tholqin.”

Artinya: “Janganlah sekali-kali engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun (hanya) bertemu dengan saudaramu dengan wajah berseri (tersenyum).” (HR. Muslim No. 2626)

Hadits ini secara gamblang menunjukkan bahwa bahkan ekspresi wajah yang ramah dan menyenangkan saat bertemu sesama Muslim sudah terhitung sebagai sebuah kebaikan (al-ma\’ruf) yang tidak boleh diremehkan. Ini membuka cakrawala pemahaman bahwa ladang untuk berinvestasi akhirat sesungguhnya terhampar luas dalam setiap interaksi dan aktivitas keseharian kita. Kebaikan kecil bukanlah amal yang nilainya kecil, melainkan amal yang mungkin tampak sederhana namun memiliki dampak dan balasan yang besar di sisi Allah SWT jika dilakukan dengan ikhlas dan konsisten.

Bagian 3: Ragam Bentuk Kebaikan Kecil sebagai Investasi Akhirat

Sebagaimana telah dipaparkan, ladang untuk menanam investasi akhirat melalui kebaikan kecil terbentang sangat luas dalam kehidupan seorang Muslim. Kebaikan tidak terbatas pada ibadah ritual formal semata, melainkan meresap dalam setiap aspek interaksi sosial, pemanfaatan sumber daya, hingga ekspresi akhlak mulia. Berikut adalah beberapa ragam bentuk kebaikan kecil yang dapat menjadi investasi akhirat yang bernilai tinggi, beserta landasan dalilnya:

1. Sedekah dalam Makna Luas

Sedekah seringkali identik dengan pemberian harta materi. Namun, dalam Islam, konsep sedekah jauh lebih luas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setiap persendian manusia wajib bersedekah setiap harinya. Kebaikan-kebaikan sederhana seperti mendamaikan dua orang yang berselisih, membantu seseorang naik kendaraan atau mengangkat barang bawaannya, mengucapkan perkataan yang baik (kalimah thayyibah), melangkahkan kaki menuju shalat, hingga menyingkirkan gangguan dari jalan, semuanya terhitung sebagai sedekah (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Bahkan, senyuman tulus kepada sesama Muslim, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya (HR. Muslim No. 2626), adalah bentuk sedekah yang paling mudah namun seringkali dilupakan. Keutamaan sedekah, termasuk yang bersifat non-materi, sangatlah besar. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 261:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Ayat ini, meskipun secara eksplisit menyebut infak harta, memberikan gambaran tentang balasan berlipat ganda dari Allah bagi setiap kebaikan yang dilakukan di jalan-Nya, termasuk sedekah dalam bentuk kebaikan kecil lainnya.

2. Ilmu yang Bermanfaat (Walau Sedikit)

Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu dari tiga amal jariyah yang pahalanya terus mengalir (HR. Muslim No. 1631). Investasi ilmu tidak harus selalu berupa penemuan ilmiah besar atau karya tulis monumental. Menyampaikan satu ayat Al-Quran, mengajarkan doa sederhana kepada anak kecil, berbagi pengetahuan praktis yang halal dan bermanfaat kepada rekan kerja, atau sekadar mengingatkan dalam kebaikan, semua itu dapat menjadi investasi ilmu yang bernilai.

3. Amal Sosial Kemasyarakatan Sederhana

Kepedulian terhadap lingkungan sosial dan alam sekitar merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Perbuatan-perbuatan kecil yang berdampak positif bagi masyarakat atau lingkungan dapat menjadi investasi akhirat yang signifikan:

  • Memberi Makan atau Minum: Memberikan hidangan, meskipun sederhana, kepada orang yang membutuhkan, termasuk tamu atau tetangga, adalah amal yang diberkahi (HR. Ahmad). Energi yang diperoleh dari makanan tersebut yang digunakan untuk beribadah atau berbuat baik akan turut mengalirkan pahala kepada pemberinya.
  • Menanam Pohon atau Tanaman: Menanam pohon yang buahnya atau naungannya dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lain adalah sedekah jariyah (HR. Muslim).
  • Menyingkirkan Gangguan di Jalan: Memindahkan duri, batu, atau halangan lain dari jalan yang dapat membahayakan atau menyulitkan pengguna jalan adalah cabang dari iman dan bentuk kebaikan yang dihargai tinggi (HR. Muslim).
  • Menjaga Hubungan Baik: Memelihara silaturahmi, bersikap baik kepada tetangga, dan membantu meringankan kesulitan mereka adalah wujud nyata dari iman dan kebaikan sosial.

4. Ibadah Ringan yang Konsisten

Selain ibadah wajib, terdapat ibadah-ibadah sunnah ringan yang jika dilakukan secara konsisten (istiqomah) dapat menjadi investasi akhirat yang berharga:

  • Dzikir dan Doa: Mengingat Allah (dzikir) dalam berbagai kesempatan, seperti setelah shalat atau di waktu pagi dan petang, serta memanjatkan doa untuk diri sendiri dan orang lain.
  • Shalat Sunnah Rawatib: Menjaga shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu.
  • Membaca Al-Quran: Meluangkan waktu secara rutin untuk membaca dan merenungi ayat-ayat Al-Quran, meskipun hanya beberapa ayat setiap hari.

5. Akhlak Mulia dalam Keseharian

Akhlak yang baik (akhlakul karimah) adalah cerminan iman dan sumber kebaikan yang tak terbatas:

  • Tutur Kata yang Baik: Menjaga lisan dari perkataan dusta, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan ucapan menyakitkan. Sebaliknya, membiasakan berkata jujur, lembut, dan menyejukkan.
  • Menahan Amarah: Mampu mengendalikan diri saat emosi memuncak adalah kekuatan yang dipuji dalam Islam.
  • Sikap Ramah dan Murah Senyum: Menunjukkan wajah berseri dan sikap terbuka kepada sesama.
  • Menjaga Amanah: Berlaku jujur dan dapat dipercaya dalam setiap urusan.

Ragam bentuk kebaikan kecil ini menunjukkan betapa mudahnya bagi seorang Muslim untuk terus menabung investasi akhirat dalam setiap helaan nafas dan langkah kehidupannya. Kuncinya terletak pada kesadaran, keikhlasan, dan kemauan untuk tidak meremehkan setiap peluang berbuat baik yang hadir.

Bagian 4: Keutamaan dan Manfaat Berbuat Kebaikan Kecil

Perbuatan baik, meskipun tampak kecil dan sederhana di mata manusia, sesungguhnya menyimpan keutamaan (fadhilah) dan manfaat yang luar biasa besar dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta\\\’ala. Menginvestasikan waktu, tenaga, atau bahkan sekadar senyuman tulus untuk kebaikan bukanlah tindakan sia-sia, melainkan sebuah langkah strategis untuk meraih keuntungan berlipat ganda, baik di dunia maupun, yang lebih utama, di akhirat kelak. Berikut adalah beberapa keutamaan dan manfaat fundamental dari membiasakan diri berbuat kebaikan kecil:

1. Meraih Balasan Berlipat Ganda dari Allah SWT

Janji Allah SWT sangatlah jelas mengenai balasan bagi orang-orang yang berbuat baik di jalan-Nya. Sebagaimana perumpamaan dalam Surah Al-Baqarah ayat 261, setiap kebaikan diibaratkan seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, dan pada setiap tangkai terdapat seratus biji. Ini adalah metafora indah yang menggambarkan pelipatgandaan pahala yang tak terhingga dari Allah Yang Maha Pemurah. Kebaikan kecil yang dilakukan dengan ikhlas dapat menghasilkan \”return on investment\” akhirat yang jauh melampaui ekspektasi manusia.

2. Menjadi Sebab Diampuninya Dosa

Kebaikan memiliki kekuatan untuk menghapus keburukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, \”…dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik) itu akan menghapusnya…\” (HR. Tirmidzi). Perbuatan baik, termasuk yang kecil-kecil, dapat menjadi penebus dosa-dosa yang pernah dilakukan, membersihkan catatan amal, dan meringankan beban pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu sumber, sedekah (sebagai salah satu bentuk kebaikan) memiliki kemampuan untuk menghapus dosa.

3. Mendatangkan Keberkahan dalam Hidup

Keberkahan (barakah) adalah karunia Allah berupa kebaikan yang melimpah dan langgeng dalam berbagai aspek kehidupan. Berbuat baik kepada sesama, seperti memberi makan atau minum (HR. Ahmad), tidak hanya mendatangkan pahala akhirat, tetapi juga membuka pintu-pintu keberkahan rezeki, kesehatan, dan ketenangan hidup di dunia. Allah SWT menjanjikan tambahan nikmat bagi hamba-Nya yang bersyukur dan menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan.

4. Memberatkan Timbangan Amal di Akhirat

Pada hari perhitungan (Yaumul Hisab), setiap amal manusia akan ditimbang. Sekecil apapun kebaikan yang pernah dilakukan, ia akan memiliki bobot nilai di timbangan amal (mizan). Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7, \”Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.\” Kumpulan kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat menjadi faktor penentu yang memberatkan timbangan amal baik seseorang, mengantarkannya menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi.

5. Mendekatkan Diri kepada Rahmat Allah SWT

Allah SWT mencintai hamba-hamba-Nya yang berbuat baik (muhsinin). Dalam Surah Al-A\\\’raf ayat 56, Allah berfirman:

\”…Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinin).\” (QS. Al-A\\\’raf: 56)

Setiap kebaikan kecil yang dilakukan adalah langkah untuk mendekatkan diri kepada curahan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Semakin dekat seorang hamba dengan rahmat-Nya, semakin terbuka pula pintu pertolongan, kemudahan, dan ampunan-Nya.

6. Menciptakan Keharmonisan Sosial

Kebaikan-kebaikan kecil seperti senyum, sapaan ramah, saling menolong, dan menjaga tutur kata memiliki dampak sosial yang signifikan. Perilaku-perilaku positif ini dapat mempererat tali persaudaraan (ukhuwah), mengurangi konflik, menumbuhkan rasa saling percaya, dan menciptakan lingkungan masyarakat yang harmonis, damai, dan suportif. Kebaikan bersifat menular; satu tindakan baik dapat menginspirasi tindakan baik lainnya.

7. Memberikan Ketenangan Jiwa dan Kebahagiaan

Secara fitrah, jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan ketika melakukan kebaikan. Membantu orang lain, berbagi kebahagiaan, atau sekadar melakukan tindakan positif memberikan kepuasan batin yang tidak dapat dinilai dengan materi. Kebaikan kecil yang dilakukan secara rutin dapat menjadi terapi jiwa, mengurangi stres, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Memahami berbagai keutamaan dan manfaat ini seharusnya menjadi motivasi kuat bagi setiap Muslim untuk tidak pernah lelah dan tidak pernah meremehkan dalam berbuat baik, sekecil apapun wujudnya. Setiap kebaikan adalah investasi berharga untuk kebahagiaan dunia dan, yang terpenting, keabadian di akhirat.

Bagian 5: Istiqomah dalam Berbuat Kebaikan Kecil

Mengetahui ragam bentuk dan keutamaan kebaikan kecil adalah langkah awal yang penting. Namun, untuk memaksimalkan nilai investasi akhirat, aspek fundamental lainnya yang tidak kalah krusial adalah konsistensi atau istiqomah dalam menjalankannya. Istiqomah berarti teguh pendirian, lurus, dan kontinu dalam melakukan suatu amalan karena Allah Subhanahu wa Ta\\\’ala, tanpa terputus atau kendur semangat.

Dalam ajaran Islam, kualitas amalan seringkali lebih diutamakan daripada kuantitas semata. Amalan kecil yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan lebih dicintai oleh Allah SWT dibandingkan amalan besar yang hanya dilakukan sesekali atau bersifat musiman. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu \\\’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

\”Ahabbul a\\\’maali ilallaahi ta\\\’aala adwamuhaa wa in qolla.\”

Artinya: \”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta\\\’ala adalah amalan yang kontinu (terus-menerus) walaupun itu sedikit.\” (HR. Muslim No. 783)

Hadits ini memberikan pelajaran berharga bahwa kunci utama dalam berinvestasi akhirat melalui kebaikan kecil adalah menjaganya agar tetap berlangsung secara istiqomah. Senyum yang selalu merekah, tutur kata baik yang terjaga, sedekah receh yang rutin dikeluarkan, atau shalat sunnah dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan, meskipun tampak sederhana, memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah karena adanya unsur keberlanjutan dan keteguhan.

Menjaga keistiqomahan dalam berbuat baik tentu bukanlah perkara mudah. Seringkali semangat beramal naik turun, dipengaruhi oleh kondisi iman, lingkungan, atau kesibukan duniawi. Oleh karena itu, diperlukan upaya sadar untuk memelihara konsistensi ini. Beberapa tips yang dapat membantu antara lain:

  1. Memperbaharui Niat: Selalu luruskan niat bahwa setiap kebaikan dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT, bukan karena dorongan sesaat atau pujian manusia.
  2. Memulai dari yang Kecil dan Mudah: Pilihlah amalan-amalan kebaikan kecil yang paling mungkin untuk dilakukan secara rutin sesuai dengan kemampuan diri. Jangan membebani diri dengan target amalan besar yang sulit untuk dijaga konsistensinya.
  3. Membuat Target Realistis: Tetapkan target harian atau mingguan yang terukur untuk amalan kebaikan kecil tertentu, misalnya bersedekah setiap Jumat, membaca Al-Quran satu halaman setiap hari, atau menelepon orang tua dua kali seminggu.
  4. Mencari Lingkungan yang Mendukung: Berteman dan bergaul dengan orang-orang shalih yang saling mengingatkan dalam kebaikan dapat membantu menjaga semangat beramal.
  5. Berdoa Memohon Keistiqomahan: Memohon pertolongan Allah SWT agar diberikan kekuatan dan keteguhan hati untuk senantiasa berada di jalan kebaikan.

Selain menjaga konsistensi, hal penting lainnya adalah menjaga keikhlasan amal dari penyakit hati seperti riya\\\’ (pamer) dan ujub (bangga diri). Riya\\\’* adalah melakukan amal agar dilihat dan dipuji oleh manusia, sedangkan ujub adalah merasa kagum dengan amal sendiri. Kedua sifat ini dapat merusak pahala amal, bahkan amal yang dilakukan secara istiqomah sekalipun. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa introspeksi diri, menyembunyikan amal sebisa mungkin (kecuali yang disyariatkan untuk ditampakkan), dan selalu mengembalikan segala pujian hanya kepada Allah SWT.

Dengan demikian, istiqomah dalam berbuat kebaikan kecil, yang dilandasi keikhlasan dan dijauhkan dari riya\\\’* serta ujub, merupakan formula ampuh untuk membangun portofolio investasi akhirat yang solid dan berkelanjutan, mengantarkan pelakunya menuju derajat yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta\\\’ala.

Bagian 6: Kesimpulan (Penutup & Ajakan)

Perjalanan mengupas konsep “Berbuat Kebaikan Kecil sebagai Investasi Akhirat” membawa kita pada sebuah kesadaran mendalam akan keluasan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta\\\’ala. Ajaran Islam tidak hanya menekankan pentingnya mempersiapkan bekal untuk kehidupan abadi setelah kematian, tetapi juga memberikan panduan praktis bahwa persiapan tersebut dapat dimulai dari tindakan-tindakan sederhana yang seringkali luput dari perhatian kita.

Sebagaimana telah diuraikan, investasi akhirat bukanlah monopoli bagi mereka yang memiliki kelapangan harta atau kedudukan tinggi semata. Setiap Muslim, tanpa memandang status sosial atau kemampuan finansial, memiliki kesempatan yang sama untuk menanam modal kebaikan. Kebaikan kecil (al-ma\\\’ruf), mulai dari senyuman tulus, tutur kata yang menyejukkan, menyingkirkan duri di jalan, berbagi ilmu walau sedikit, hingga menjaga konsistensi dalam ibadah sunnah ringan, semuanya memiliki nilai intrinsik yang agung di sisi Allah SWT.

Landasan utama dari nilai agung ini adalah janji Allah yang pasti, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Al-Karim, khususnya Surah Al-Zalzalah ayat 7-8, bahwa setiap perbuatan baik seberat zarrah pun akan diperlihatkan balasannya. Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang kita meremehkan kebaikan sekecil apapun, bahkan hanya sekadar bertemu saudara dengan wajah berseri. Dalil-dalil ini menegaskan bahwa tidak ada amal baik yang sia-sia; semuanya tercatat, diperhitungkan, dan berpotensi menjadi pemberat timbangan amal di Yaumul Hisab.

Keutamaan berbuat baik, sekecil apapun, tidak hanya terbatas pada balasan akhirat. Ia juga membawa manfaat nyata dalam kehidupan dunia, seperti mendatangkan keberkahan, menjadi sebab diampuninya dosa, mendekatkan diri pada rahmat Allah, menciptakan keharmonisan sosial, serta memberikan ketenangan jiwa. Namun, kunci untuk memaksimalkan potensi investasi ini terletak pada keikhlasan niat dan keistiqomahan dalam menjalankannya. Amalan kecil yang kontinu lebih dicintai Allah daripada amalan besar yang terputus.

Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama memperbaharui komitmen untuk tidak lagi memandang remeh setiap peluang berbuat baik yang hadir dalam keseharian kita. Jadikanlah setiap interaksi, setiap langkah, dan setiap helaan nafas sebagai kesempatan untuk menanam benih-benih kebaikan. Mulailah dari hal-hal kecil yang paling mungkin kita lakukan secara konsisten, dengan niat tulus semata-mata mengharap ridha Allah SWT.

Semoga kesadaran akan pentingnya kebaikan kecil sebagai investasi akhirat ini senantiasa tertanam dalam diri kita, memotivasi kita untuk terus berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), dan akhirnya mengantarkan kita semua menuju kebahagiaan hakiki dan abadi di Jannah-Nya kelak. Wallahu a\\\’lam bisshowab.

KONSISTENSI DAN RENDAH HATI: PILAR KEPEMIMPINAN MODERN DALAM MANAJEMEN ORGANISASI

Oleh: H. Arief Kusuma (Ketua Dewan Pembina Yayasan AminaHusen)

Pendahuluan

Dalam dinamika lanskap bisnis global yang terus berubah, di mana disrupsi teknologi dan ekspektasi pemangku kepentingan yang kian kompleks menjadi norma, paradigma kepemimpinan dan manajemen organisasi dituntut untuk berevolusi. Era kontemporer, yang seringkali dicirikan oleh volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA), menghadirkan serangkaian tantangan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Perkembangan teknologi yang eksponensial, peningkatan ekspektasi pelanggan secara signifikan, serta intensifikasi persaingan global menuntut para pemimpin untuk tidak hanya memiliki kecakapan teknis, tetapi juga fondasi karakter yang kokoh.

Di tengah arus deras perubahan ini, ironisnya, dua nilai fundamental yang telah lama diakui dalam etika kepemimpinan justru menemukan relevansi yang semakin krusial: konsistensi (consistency) dan rendah hati (humility). Jauh melampaui sekadar atribut personal yang terpuji, kedua nilai ini telah bertransformasi menjadi pilar esensial bagi para pemimpin dan manajer modern yang berambisi membangun organisasi yang tidak hanya tangguh (resilient) dan adaptif (adaptive), tetapi juga berkelanjutan (sustainable) dalam jangka panjang.

Konsistensi, dalam manifestasinya sebagai stabilitas tindakan, prediktabilitas keputusan, dan integritas antara perkataan dan perbuatan, berfungsi sebagai landasan utama dalam membangun kepercayaan (trust) dan menstandarisasi kinerja (performance). Sementara itu, rendah hati, yang tercermin dalam kesadaran diri (self-awareness), keterbukaan terhadap pembelajaran (openness to learning), dan pengakuan atas keterbatasan, menjadi katalisator bagi inovasi (innovation), kolaborasi (collaboration), dan kemampuan adaptasi organisasi.

Artikel ini dirancang untuk mengupas secara komprehensif dan mendalam bagaimana sinergi antara konsistensi dan rendah hati menjadi determinan kunci kesuksesan dalam praktik manajemen modern dan kepemimpinan transformasional. Pembahasan akan diperkaya dengan analisis konseptual, contoh-contoh konkret dari dunia korporasi, temuan riset empiris yang relevan, serta implikasi praktis penerapannya dalam konteks lingkungan kerja masa kini. Melalui eksplorasi ini, diharapkan para pembaca, khususnya para pemimpin dan calon pemimpin, dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai urgensi pengintegrasian kedua pilar ini dalam gaya kepemimpinan mereka guna menghadapi tantangan dan meraih peluang di abad ke-21. ### Konsistensi: Fondasi Esensial bagi Kepercayaan dan Kinerja Unggul

Konsistensi, sebagai salah satu pilar fundamental dalam kepemimpinan modern, merepresentasikan lebih dari sekadar rutinitas atau keseragaman tindakan. Ia merupakan manifestasi dari integritas, prediktabilitas, dan komitmen yang teguh terhadap prinsip serta nilai-nilai yang dianut, bahkan di tengah turbulensi perubahan.

1. Definisi Konseptual Konsistensi dalam Ranah Manajemen

Secara konseptual, konsistensi dalam konteks manajemen dapat didefinisikan sebagai kapabilitas seorang pemimpin atau manajer untuk bertindak secara stabil, dapat diprediksi (predictable), dan senantiasa berpegang teguh pada seperangkat nilai serta prinsip yang sama dalam menghadapi beragam situasi dan tantangan. Ini bukan berarti kekakuan (rigidity) atau ketidakmampuan untuk beradaptasi, melainkan sebuah komitmen yang terinternalisasi untuk menjaga keselarasan antara visi, misi, strategi, dan eksekusi operasional. Dalam praktik manajemen sehari-hari, konsistensi termanifestasi dalam beberapa aspek krusial:

  • Penetapan Standar Perilaku dan Kinerja yang Jelas (Clear Standards): Pemimpin yang konsisten menetapkan ekspektasi yang transparan dan terukur mengenai perilaku etis dan standar kinerja yang diharapkan dari seluruh anggota tim. Standar ini dikomunikasikan secara efektif dan diterapkan secara adil kepada semua individu, tanpa diskriminasi.
  • Pengambilan Keputusan Berbasis Prinsip (Principled Decision-Making): Keputusan strategis maupun operasional diambil berdasarkan kerangka prinsip, nilai-nilai inti organisasi, dan data yang objektif, bukan berdasarkan emosi sesaat, preferensi personal, atau tekanan eksternal jangka pendek. Konsistensi dalam proses pengambilan keputusan memastikan keadilan dan rasionalitas.
  • Menjaga Integritas Antara Perkataan dan Perbuatan (Walk the Talk): Aspek paling fundamental dari konsistensi adalah keselarasan mutlak antara apa yang diucapkan oleh seorang pemimpin dengan tindakan nyata yang dilakukannya. Integritas ini membangun kredibilitas dan menunjukkan komitmen otentik terhadap nilai-nilai yang diproklamirkan.

2. Urgensi Konsistensi dalam Kepemimpinan Efektif

Penerapan konsistensi dalam kepemimpinan membawa dampak positif yang signifikan terhadap berbagai aspek vital organisasi:

  • a. Membangun Fondasi Kepercayaan yang Kokoh (Building Trust): Kepercayaan merupakan mata uang utama dalam hubungan kepemimpinan. Karyawan, mitra bisnis, dan pelanggan secara inheren akan menaruh kepercayaan yang lebih besar kepada pemimpin yang menunjukkan konsistensi dalam tindakan, keputusan, dan komunikasinya. Mereka memahami apa yang dapat diharapkan (what to expect) dan merasa lebih aman secara psikologis (psychological safety) dalam lingkungan kerja yang stabil dan dapat diprediksi. Berbagai studi, termasuk yang sering dikutip dalam literatur manajemen seperti Harvard Business Review, secara konsisten menyoroti korelasi positif antara konsistensi kepemimpinan dan tingkat kepercayaan organisasional. Kepercayaan ini menjadi fondasi bagi kolaborasi yang efektif, keterbukaan komunikasi, dan loyalitas jangka panjang.
  • b. Meningkatkan Produktivitas dan Efektivitas Kinerja (Enhancing Productivity): Tim yang berada di bawah naungan kepemimpinan yang konsisten cenderung menunjukkan tingkat produktivitas dan efektivitas yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh minimnya kebingungan (confusion) dan ambiguitas (ambiguity) mengenai ekspektasi, prioritas, dan standar kinerja. Ketika arahan jelas, proses terstandarisasi (namun tetap fleksibel), dan evaluasi dilakukan secara konsisten, anggota tim dapat memfokuskan energi mereka pada penyelesaian tugas secara optimal, bukan menerka-nerka keinginan pemimpin atau menavigasi ketidakpastian internal.
  • c. Menjadi Teladan dan Pembentuk Budaya (Role Modeling & Culture Shaping): Pemimpin adalah role model utama dalam sebuah organisasi. Konsistensi yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam menjunjung tinggi nilai-nilai etika, komitmen terhadap tujuan jangka panjang, dan perlakuan yang adil terhadap semua pihak, secara langsung membentuk dan memperkuat budaya organisasi yang diinginkan. Perilaku konsisten mengirimkan pesan kuat bahwa integritas dan komitmen pada visi bersama lebih diutamakan daripada pencapaian target sesaat atau keuntungan pribadi. Ini menginspirasi anggota tim untuk mengadopsi perilaku serupa.

3. Tantangan dalam Mempertahankan Konsistensi di Era Disrupsi

Meskipun krusial, mempertahankan konsistensi bukanlah tugas yang mudah, terutama dalam konteks lingkungan bisnis modern yang dicirikan oleh VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Pemimpin dihadapkan pada dilema konstan antara kebutuhan untuk tetap teguh pada prinsip dan keharusan untuk bersikap fleksibel serta adaptif terhadap perubahan pasar yang cepat, krisis yang tak terduga, dan dinamika internal yang kompleks. Tantangan utamanya adalah membedakan antara konsistensi yang bermakna (berpegang pada nilai inti dan tujuan strategis) dengan kekakuan yang menghambat (rigidity). Konsistensi sejati bukanlah tentang menolak perubahan, melainkan tentang kemampuan untuk beradaptasi dan menavigasi ketidakpastian tanpa kehilangan arah moral dan strategis. Pemimpin modern dituntut untuk memiliki agile consistency – kemampuan untuk mempertahankan inti yang stabil sambil beradaptasi di bagian periferal. ### Rendah Hati: Katalisator Adaptasi, Inovasi, dan Kolaborasi

Beriringan dengan konsistensi, rendah hati (humility) muncul sebagai pilar kedua yang tak kalah vital dalam membentuk kepemimpinan modern yang efektif dan berdampak. Rendah hati dalam konteks kepemimpinan seringkali disalahartikan sebagai kelemahan atau kurangnya kepercayaan diri. Namun, dalam paradigma manajemen kontemporer, rendah hati justru dipandang sebagai kekuatan strategis yang memungkinkan pemimpin dan organisasi untuk belajar, beradaptasi, dan berinovasi secara berkelanjutan.

1. Mendefinisikan Ulang Rendah Hati dalam Kepemimpinan Modern

Rendah hati dalam kepemimpinan bukanlah tentang merendahkan diri (self-deprecation) atau meniadakan pencapaian. Sebaliknya, ia merupakan sebuah sikap mental dan orientasi perilaku yang didasarkan pada:

  • Kesadaran Diri yang Tinggi (High Self-Awareness): Pemimpin yang rendah hati memiliki pemahaman yang akurat mengenai kekuatan dan kelemahan diri mereka sendiri. Mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki semua jawaban dan menyadari adanya keterbatasan dalam pengetahuan serta pengalaman pribadi.
  • Pengakuan Keterbatasan dan Keterbukaan terhadap Pembelajaran (Acknowledging Limits & Openness to Learning): Mereka secara terbuka mengakui keterbatasan diri dan secara aktif mencari perspektif serta pengetahuan baru. Kerendahan hati memanifestasikan diri dalam kemauan untuk terus belajar, tidak hanya dari para ahli atau atasan, tetapi juga dari rekan kerja, bawahan, bahkan dari kegagalan.
  • Keterbukaan terhadap Masukan dan Kritik (Receptiveness to Feedback): Pemimpin rendah hati secara aktif mencari dan menerima umpan balik (feedback), termasuk kritik konstruktif, sebagai peluang untuk perbaikan diri dan pengembangan organisasi. Mereka tidak defensif terhadap masukan, melainkan melihatnya sebagai data berharga.
  • Mengutamakan Tujuan Kolektif di Atas Ego Pribadi (Prioritizing Collective Goals over Personal Ego): Fokus utama pemimpin rendah hati adalah pencapaian tujuan bersama dan kesuksesan tim atau organisasi secara keseluruhan, bukan untuk mendapatkan pengakuan pribadi atau memuaskan ego. Mereka bersedia memberikan kredit kepada orang lain dan merayakan kesuksesan tim.

2. Relevansi Krusial Rendah Hati dalam Dinamika Manajemen Modern

Penerapan nilai rendah hati dalam praktik kepemimpinan memberikan kontribusi signifikan terhadap kesehatan dan keberlanjutan organisasi di era modern:

  • a. Mendorong Lingkungan Kolaboratif dan Inklusif (Fostering Collaboration & Inclusion): Pemimpin yang menunjukkan kerendahan hati cenderung menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, di mana setiap anggota tim merasa dihargai, didengarkan, dan diberdayakan untuk berkontribusi. Dengan menekan ego pribadi dan menghargai perspektif yang beragam, pemimpin rendah hati memfasilitasi kolaborasi lintas fungsi dan mendorong munculnya ide-ide inovatif dari berbagai level organisasi. Rasa aman psikologis (psychological safety) meningkat, memungkinkan anggota tim untuk berbagi ide tanpa takut dihakimi atau diremehkan.
  • b. Meningkatkan Kapasitas Adaptasi terhadap Perubahan (Enhancing Adaptability): Di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi adalah kunci kelangsungan hidup organisasi. Kerendahan hati secara langsung berkontribusi pada agilitas organisasi. Pemimpin yang rendah hati lebih terbuka terhadap informasi baru, sinyal perubahan dari pasar, dan umpan balik mengenai kinerja strategi yang sedang berjalan. Mereka tidak terpaku pada cara-cara lama (status quo) hanya karena ego atau keengganan mengakui bahwa pendekatan sebelumnya mungkin tidak lagi relevan. Keterbukaan ini memungkinkan organisasi untuk merespons perubahan dengan lebih cepat dan efektif.
  • c. Membangun Loyalitas dan Keterikatan Karyawan (Building Loyalty & Engagement): Karyawan secara alami merasa lebih terhubung dan loyal kepada pemimpin yang menunjukkan kerendahan hati. Ketika pemimpin bersedia mengakui kesalahan, belajar dari tim, dan menunjukkan kepedulian tulus terhadap pengembangan anggota timnya, hal ini membangun ikatan emosional yang kuat. Karyawan merasa dihargai sebagai individu, bukan sekadar sumber daya. Tingkat keterikatan (engagement) meningkat, yang berdampak positif pada retensi talenta (talent retention), moral tim, dan budaya organisasi secara keseluruhan.

3. Studi Kasus Inspiratif: Transformasi Microsoft di Bawah Kepemimpinan Satya Nadella

Salah satu contoh paling menonjol dari dampak positif kepemimpinan rendah hati dalam skala besar adalah transformasi budaya yang terjadi di Microsoft sejak Satya Nadella mengambil alih posisi CEO pada tahun 2014. Sebelum era Nadella, Microsoft seringkali digambarkan memiliki budaya internal yang cenderung kaku, silo, dan terkadang arogan. Nadella secara sadar membawa perubahan fundamental dengan menanamkan apa yang disebutnya sebagai “growth mindset” (pola pikir bertumbuh), yang berakar kuat pada prinsip kerendahan hati.

Nadella mendorong para pemimpin dan karyawan di semua tingkatan untuk:

  • Belajar dari Kegagalan (Learn from Failures): Mengubah persepsi terhadap kegagalan, dari sesuatu yang harus dihindari menjadi peluang untuk belajar dan berinovasi.
  • Saling Mendukung dan Berkolaborasi (Support Each Other & Collaborate): Membongkar silo-silo internal dan mendorong kolaborasi lintas divisi.
  • Berinovasi Tanpa Takut Disalahkan (Innovate without Fear of Blame): Menciptakan lingkungan di mana eksperimen dan pengambilan risiko yang diperhitungkan didorong, bukan dihukum.
  • Memiliki Empati terhadap Pelanggan (Empathize with Customers): Menempatkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan pelanggan sebagai inti dari pengembangan produk dan strategi.

Pergeseran budaya yang dipimpin oleh Nadella, dengan kerendahan hati sebagai intinya, terbukti sangat transformatif. Microsoft berhasil merevitalisasi dirinya, kembali menjadi salah satu pemimpin global dalam inovasi teknologi (terutama di bidang cloud computing dan kecerdasan buatan), dan mencapai valuasi pasar yang meroket. Kisah Microsoft di bawah Nadella menjadi bukti nyata bahwa rendah hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan fondasi strategis untuk pertumbuhan, adaptasi, dan kesuksesan jangka panjang di era modern. ### Sinergi Konsistensi dan Rendah Hati: Menemukan Keseimbangan Ideal dalam Kepemimpinan Modern

Setelah mengupas secara terpisah mengenai urgensi konsistensi dan rendah hati, menjadi jelas bahwa kedua pilar ini bukanlah entitas yang berdiri sendiri dalam membentuk kepemimpinan yang efektif. Justru, kekuatan transformasional terbesar muncul ketika kedua nilai ini bersinergi dan diintegrasikan secara harmonis dalam praktik kepemimpinan sehari-hari. Keseimbangan antara konsistensi dan rendah hati adalah kunci untuk menavigasi kompleksitas manajemen modern dan membangun organisasi yang tidak hanya berkinerja tinggi tetapi juga adaptif dan humanis.

1. Bahaya Ketidakseimbangan: Konsistensi Tanpa Rendah Hati

Seorang pemimpin yang hanya mengedepankan konsistensi tanpa diimbangi dengan kerendahan hati berisiko terjebak dalam gaya kepemimpinan yang kaku, otoriter, dan resisten terhadap perubahan. Manifestasi negatif dari ketidakseimbangan ini meliputi:

  • Kekakuan dan Birokrasi Berlebih (Rigidity & Excessive Bureaucracy): Konsistensi yang ekstrem tanpa keterbukaan untuk meninjau ulang proses atau aturan dapat mengarah pada birokrasi yang menghambat inovasi dan kelincahan (agility). Pemimpin menjadi terlalu terpaku pada prosedur baku dan enggan mempertimbangkan pendekatan baru, bahkan ketika kondisi eksternal menuntut perubahan.
  • Gaya Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Style): Kurangnya rendah hati membuat pemimpin sulit menerima masukan, kritik, atau perspektif yang berbeda dari timnya. Mereka cenderung memaksakan kehendak, mengabaikan kontribusi bawahan, dan menciptakan lingkungan kerja yang didasarkan pada kepatuhan (compliance) daripada komitmen (commitment).
  • Resistensi terhadap Pembelajaran dan Adaptasi (Resistance to Learning & Adaptation): Tanpa kerendahan hati untuk mengakui bahwa strategi atau pendekatan yang ada mungkin perlu disesuaikan, pemimpin yang hanya konsisten akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan pasar atau teknologi. Organisasi berisiko menjadi stagnan dan kehilangan daya saing.
  • Menurunnya Keterlibatan Karyawan (Decreased Employee Engagement): Lingkungan yang kaku dan kurang menghargai masukan akan menurunkan moral dan keterlibatan karyawan. Mereka merasa tidak didengarkan dan kontribusi mereka tidak dihargai, yang dapat memicu turnover talenta.

2. Bahaya Ketidakseimbangan: Rendah Hati Tanpa Konsistensi

Sebaliknya, seorang pemimpin yang hanya mengandalkan kerendahan hati tanpa didukung oleh konsistensi dalam prinsip dan tindakan juga dapat menimbulkan masalah tersendiri. Ketidakseimbangan ini dapat termanifestasi sebagai:

  • Ketidaktegasan dan Keraguan (Indecisiveness & Hesitation): Pemimpin yang terlalu akomodatif dan selalu berusaha menyenangkan semua pihak tanpa berpegang pada prinsip yang jelas dapat terlihat plin-plan atau tidak tegas. Keputusan penting mungkin tertunda atau sering berubah arah, menciptakan kebingungan di dalam tim.
  • Kurangnya Standar yang Jelas (Lack of Clear Standards): Tanpa konsistensi dalam menetapkan dan menegakkan standar kinerja atau perilaku, tim akan kehilangan arah. Ekspektasi menjadi tidak jelas, dan evaluasi kinerja bisa terasa subjektif atau tidak adil.
  • Potensi Eksploitasi Kebaikan (Potential for Exploitation): Kerendahan hati yang berlebihan tanpa batas yang jelas dapat disalahartikan sebagai kelemahan dan dieksploitasi oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab.
  • Kesulitan dalam Mengelola Konflik (Difficulty in Managing Conflict): Pemimpin yang enggan mengambil sikap tegas karena terlalu fokus pada harmoni mungkin kesulitan dalam mengelola konflik secara efektif atau membuat keputusan sulit yang diperlukan demi kebaikan organisasi.

3. Mencapai Keseimbangan Ideal: Consistent Humility

Kunci keberhasilan kepemimpinan modern terletak pada kemampuan untuk menyeimbangkan dan mengintegrasikan kedua nilai ini secara dinamis. Pemimpin yang ideal adalah mereka yang:

  • Konsisten dalam Nilai dan Tujuan Strategis: Mereka memiliki seperangkat nilai inti yang kokoh dan visi jangka panjang yang jelas, yang menjadi panduan konsisten dalam pengambilan keputusan dan penetapan arah strategis organisasi.
  • Rendah Hati dalam Proses dan Pelaksanaan: Sekalipun teguh pada tujuan, mereka tetap rendah hati dalam cara mencapainya. Mereka terbuka terhadap masukan mengenai metode terbaik, bersedia belajar dari kegagalan dalam eksekusi, mengakui keterbatasan pengetahuan tim, dan secara aktif mencari cara untuk memperbaiki proses.
  • Adaptif namun Berprinsip: Mereka mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental. Fleksibilitas diterapkan pada taktik dan operasional, sementara konsistensi dijaga pada level nilai dan strategi inti.
  • Memberdayakan dan Menuntut (Empowering & Demanding): Mereka memberdayakan tim dengan memberikan otonomi dan menghargai kontribusi (manifestasi rendah hati), namun tetap menuntut akuntabilitas dan kinerja sesuai standar yang ditetapkan secara konsisten.

Sinergi antara konsistensi dan rendah hati menciptakan sebuah fondasi kepemimpinan yang kuat namun fleksibel, tegas namun empatik, berorientasi pada hasil namun juga pada proses pembelajaran. Inilah formula kepemimpinan yang dibutuhkan untuk membangun organisasi yang berkelanjutan dan mampu berkembang di tengah kompleksitas dunia modern. ### Aplikasi Praktis: Membangun dan Memelihara Budaya Konsistensi dan Rendah Hati

Mengakui nilai strategis dari konsistensi dan rendah hati adalah langkah awal yang penting. Namun, tantangan sesungguhnya terletak pada implementasi praktis dan pembentukan budaya organisasi yang secara inheren mendukung kedua pilar ini. Membangun budaya semacam ini memerlukan upaya yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan dari seluruh elemen organisasi, terutama dari jajaran kepemimpinan.

Berikut adalah beberapa langkah aplikatif yang dapat diambil untuk menanamkan dan memelihara budaya konsistensi dan rendah hati dalam lingkungan kerja:

1. Kepemimpinan sebagai Teladan Utama (Leadership by Example): Fondasi dari setiap perubahan budaya organisasi selalu dimulai dari puncak hierarki. Para pemimpin senior dan manajer di semua tingkatan harus secara sadar dan konsisten menunjukkan perilaku yang mencerminkan nilai konsistensi dan rendah hati dalam tindakan sehari-hari mereka. Ini mencakup: * Transparansi dalam Pengambilan Keputusan: Menjelaskan dasar pemikiran di balik keputusan penting secara konsisten. * Pengakuan Kesalahan Secara Terbuka: Tidak ragu mengakui kesalahan pribadi atau tim dan fokus pada pembelajaran dari kesalahan tersebut. * Mencari dan Menerima Umpan Balik: Secara proaktif meminta masukan dari bawahan dan rekan kerja, serta menunjukkan penerimaan yang tulus terhadap kritik konstruktif. * Memberikan Apresiasi yang Tulus: Secara konsisten mengakui dan mengapresiasi kontribusi anggota tim, mengalihkan sorotan dari diri sendiri ke pencapaian kolektif.

2. Merancang Sistem Evaluasi Kinerja yang Mendukung (Supportive Performance Management Systems): Sistem manajemen kinerja harus dirancang untuk tidak hanya mengukur hasil (what), tetapi juga proses dan perilaku (how). Hal ini dapat dicapai melalui: * Kriteria Evaluasi yang Jelas dan Konsisten: Menetapkan kriteria penilaian yang transparan, objektif, dan diterapkan secara konsisten kepada semua karyawan pada level yang sama. * Memasukkan Aspek Perilaku: Menilai tidak hanya pencapaian target, tetapi juga sejauh mana karyawan menunjukkan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai inti perusahaan, termasuk kolaborasi, keterbukaan terhadap pembelajaran (rendah hati), dan integritas (konsistensi). * Fokus pada Pengembangan: Menggunakan proses evaluasi bukan hanya untuk menilai, tetapi juga sebagai platform untuk diskusi pengembangan, identifikasi area perbaikan, dan pembelajaran dari pengalaman (baik sukses maupun gagal).

3. Investasi dalam Pelatihan dan Pengembangan Kepemimpinan (Leadership Training & Development): Secara proaktif menyelenggarakan program pelatihan dan pengembangan yang secara eksplisit menekankan pentingnya kompetensi kepemimpinan terkait konsistensi dan rendah hati. Program ini dapat mencakup topik seperti: * Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) * Teknik Mendengarkan Aktif (Active Listening) * Pemberian dan Penerimaan Umpan Balik yang Efektif * Manajemen Konflik * Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai * Menciptakan Keamanan Psikologis (Psychological Safety) Selain itu, penting untuk menciptakan ruang aman di mana karyawan, termasuk pemimpin, didorong untuk bereksperimen, mengambil risiko yang diperhitungkan, dan belajar dari kegagalan tanpa takut akan sanksi yang tidak proporsional.

4. Implementasi Mekanisme Umpan Balik Komprehensif (Comprehensive Feedback Mechanisms): Menerapkan sistem umpan balik multi-arah, seperti feedback 360 derajat, memungkinkan individu, termasuk para pemimpin, untuk menerima masukan anonim dan konstruktif dari berbagai perspektif (atasan, rekan sejawat, bawahan, bahkan pelanggan eksternal). Proses ini membantu meningkatkan kesadaran diri (aspek kunci rendah hati) dan mengidentifikasi area di mana konsistensi perilaku mungkin perlu ditingkatkan. Penting untuk menindaklanjuti umpan balik ini dengan rencana pengembangan yang konkret.

5. Komunikasi Internal yang Konsisten dan Terbuka (Consistent & Open Internal Communication): Memastikan bahwa komunikasi internal mengenai visi, misi, nilai-nilai, perubahan strategi, dan ekspektasi kinerja dilakukan secara konsisten, transparan, dan tepat waktu ke seluruh lapisan organisasi. Keterbukaan dalam komunikasi membantu membangun kepercayaan dan mengurangi ambiguitas, sementara konsistensi dalam pesan memperkuat pemahaman bersama.

Membangun budaya konsistensi dan rendah hati adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Diperlukan komitmen jangka panjang, kesabaran, dan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan bahwa nilai-nilai ini benar-benar tertanam dalam DNA organisasi. ### Kisah Inspiratif: Manifestasi Konsistensi dan Rendah Hati dalam Praktik Kepemimpinan Global

Teori dan konsep mengenai kepemimpinan akan menjadi lebih bermakna ketika kita melihat manifestasi nyatanya dalam praktik. Sejarah bisnis modern dipenuhi dengan kisah para pemimpin yang berhasil membawa organisasi mereka menuju puncak kesuksesan, seringkali dengan mengandalkan kombinasi kuat antara konsistensi dalam visi dan nilai, serta kerendahan hati dalam pendekatan mereka. Berikut adalah beberapa contoh inspiratif:

1. Indra Nooyi (Mantan CEO PepsiCo): Konsistensi Visi Strategis dan Kepedulian Personal

Selama masa jabatannya sebagai CEO PepsiCo (2006-2018), Indra Nooyi dikenal luas karena visinya yang konsisten mengenai “Performance with Purpose”. Visi ini secara strategis mengarahkan PepsiCo untuk tidak hanya fokus pada kinerja finansial (Performance), tetapi juga pada keberlanjutan jangka panjang yang mencakup kesehatan manusia, lingkungan, dan pengembangan talenta (Purpose). Nooyi secara konsisten mengkomunikasikan visi ini dan memastikan bahwa setiap keputusan strategis, mulai dari pengembangan produk hingga akuisisi, selaras dengan kerangka kerja tersebut. Konsistensi ini memberikan arah yang jelas bagi organisasi global yang kompleks.

Namun, konsistensi strategis Nooyi diimbangi dengan kerendahan hati yang mendalam dalam interaksinya. Ia dikenal sering meluangkan waktu untuk memahami operasi di lapangan dan mendengarkan masukan dari karyawan di berbagai tingkatan. Salah satu praktik uniknya yang menunjukkan kerendahan hati dan kepedulian personal adalah kebiasaannya menulis surat pribadi kepada orang tua dari para eksekutif seniornya, mengucapkan terima kasih atas cara mereka membesarkan putra-putri mereka yang kini berkontribusi besar bagi PepsiCo. Tindakan ini, meskipun sederhana, menunjukkan pengakuan bahwa kesuksesan pemimpin tidak terlepas dari dukungan sistem yang lebih luas dan mencerminkan kerendahan hati untuk mengakui kontribusi orang lain di luar struktur formal perusahaan.

2. Tony Hsieh (Mendiang CEO Zappos): Konsistensi Budaya Pelayanan dan Eksperimen Rendah Hati

Tony Hsieh, visioner di balik kesuksesan fenomenal Zappos, membangun seluruh model bisnis perusahaan ritel sepatu online tersebut di atas fondasi budaya yang unik. Dua pilar utama budayanya adalah konsistensi dalam memberikan layanan pelanggan yang legendaris (“WOW” service) dan kerendahan hati dalam mendorong eksperimen serta kebahagiaan karyawan. Zappos secara konsisten memberdayakan karyawan layanan pelanggannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan pelanggan, tanpa dibatasi oleh skrip atau metrik waktu panggilan yang kaku.

Di sisi lain, Hsieh menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa dalam mengakui bahwa ia tidak memiliki semua jawaban mengenai cara terbaik membangun organisasi. Ia secara terbuka mendorong eksperimen radikal dalam struktur organisasi, seperti implementasi Holacracy (sistem manajemen tanpa hierarki manajerial tradisional). Meskipun eksperimen ini menghadapi tantangan dan kritik, keterbukaan Hsieh untuk mencoba pendekatan baru dan belajar dari prosesnya mencerminkan kerendahan hati yang mendalam. Filosofinya yang terkenal, “Delivering Happiness”, tidak hanya ditujukan kepada pelanggan tetapi juga kepada karyawan, menunjukkan fokus pada kesejahteraan kolektif di atas ego pribadi. Konsistensi pada nilai inti (pelayanan dan kebahagiaan) dikombinasikan dengan kerendahan hati untuk terus bereksperimen dan belajar menjadi kunci diferensiasi Zappos.

3. Alan Mulally (Mantan CEO Ford): Konsistensi Rencana “One Ford” dan Rendah Hati dalam Kolaborasi

Ketika Alan Mulally mengambil alih kepemimpinan Ford pada tahun 2006, perusahaan tersebut berada di ambang kebangkrutan. Mulally menerapkan rencana strategis yang sangat konsisten, dikenal sebagai “One Ford”, yang bertujuan menyatukan operasi global perusahaan, menyederhanakan lini produk, dan fokus pada merek inti Ford. Ia secara disiplin dan konsisten mengkomunikasikan serta mengimplementasikan rencana ini melalui pertemuan tinjauan bisnis mingguan (Business Plan Review – BPR) yang legendaris.

Namun, kunci keberhasilan Mulally tidak hanya terletak pada konsistensi rencananya, tetapi juga pada kerendahan hati yang ia tunjukkan dalam memfasilitasi kolaborasi dan keterbukaan. Dalam pertemuan BPR, ia menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis di mana para eksekutif didorong untuk secara terbuka melaporkan masalah dan tantangan (ditandai dengan warna merah atau kuning pada grafik mereka) tanpa takut dihukum. Mulally sendiri seringkali mengakui ketidaktahuannya pada aspek-aspek tertentu dan secara aktif meminta bantuan serta masukan dari timnya. Kerendahan hati ini membongkar budaya silo dan persaingan internal yang sebelumnya merajalela di Ford, memungkinkan kolaborasi yang efektif dan penyelesaian masalah yang cepat.

Kisah-kisah ini menggarisbawahi bahwa kepemimpinan yang paling berdampak seringkali lahir dari perpaduan antara keteguhan pada prinsip dan visi (konsistensi) dengan keterbukaan untuk belajar, berkolaborasi, dan mengakui keterbatasan (rendah hati). ### Tantangan dalam Implementasi dan Strategi Solusi

Meskipun manfaat strategis dari konsistensi dan rendah hati dalam kepemimpinan modern sangat jelas, proses implementasinya dalam praktik organisasi seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan yang signifikan. Mengidentifikasi tantangan ini secara proaktif dan merumuskan strategi solusi yang tepat adalah krusial untuk keberhasilan adopsi kedua pilar ini.

1. Identifikasi Tantangan Umum

Beberapa tantangan yang paling sering dihadapi oleh para pemimpin dan organisasi dalam upaya menanamkan budaya konsistensi dan rendah hati meliputi:

  • a. Tekanan Hasil Jangka Pendek (Short-Term Results Pressure): Dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif, seringkali terdapat tekanan yang kuat dari pemangku kepentingan (investor, dewan direksi) untuk mencapai target finansial jangka pendek. Tekanan ini dapat menggoda pemimpin untuk mengambil jalan pintas, mengorbankan nilai-nilai jangka panjang demi hasil instan, atau menjadi kurang sabar dalam proses pembelajaran yang inheren dalam kerendahan hati. Konsistensi dalam strategi jangka panjang bisa terganggu, dan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan atau bereksperimen bisa terhambat oleh ketakutan akan kegagalan yang berdampak pada metrik kuartalan.
  • b. Budaya Organisasi yang Sudah Mapan dan Resisten (Entrenched & Resistant Organizational Culture): Jika organisasi telah lama beroperasi dengan budaya yang cenderung hierarkis, silo, kurang transparan, atau bahkan menghukum kegagalan, upaya untuk memperkenalkan konsistensi berbasis nilai dan kerendahan hati akan menghadapi resistensi yang kuat. Norma-norma, kebiasaan, dan asumsi yang sudah tertanam dalam (deeply embedded) sulit untuk diubah dan seringkali memerlukan upaya transformasional yang signifikan.
  • c. Ego Pribadi dan Persaingan Internal (Personal Ego & Internal Competition): Sifat manusiawi seperti ego, keinginan untuk tampil superior, dan persaingan internal untuk mendapatkan pengakuan atau promosi dapat menjadi penghalang besar bagi praktik kerendahan hati. Pemimpin atau anggota tim mungkin enggan mengakui kesalahan, berbagi pengetahuan, atau memberikan kredit kepada orang lain karena khawatir hal itu akan merusak citra atau posisi mereka. Konsistensi dalam perlakuan adil juga bisa terganggu oleh favoritisme atau politik kantor.
  • d. Kesulitan Mengukur Dampak (Difficulty in Measuring Impact): Manfaat dari konsistensi (seperti kepercayaan) dan rendah hati (seperti inovasi atau kolaborasi) seringkali bersifat kualitatif dan sulit diukur secara langsung dalam metrik finansial jangka pendek. Hal ini dapat menyulitkan pemimpin untuk meyakinkan pemangku kepentingan mengenai nilai investasi dalam membangun budaya ini.
  • e. Kebutuhan Keterampilan Kepemimpinan yang Kompleks (Need for Complex Leadership Skills): Menyeimbangkan konsistensi dan rendah hati secara efektif memerlukan tingkat kecerdasan emosional, kesadaran diri, dan keterampilan komunikasi yang tinggi. Tidak semua pemimpin secara alami memiliki atau telah mengembangkan kompetensi ini.

2. Strategi Solusi yang Proaktif

Mengatasi tantangan-tantangan tersebut memerlukan pendekatan yang strategis dan multi-faceted:

  • a. Komitmen Kepemimpinan pada Visi Jangka Panjang (Leadership Commitment to Long-Term Vision): Kepemimpinan puncak harus secara konsisten mengkomunikasikan dan menunjukkan komitmen terhadap visi dan nilai-nilai jangka panjang, bahkan ketika menghadapi tekanan jangka pendek. Mereka perlu mengedukasi pemangku kepentingan mengenai pentingnya membangun fondasi yang kuat untuk keberlanjutan, bukan hanya mengejar keuntungan sesaat.
  • b. Membangun Budaya Belajar, Keamanan Psikologis, dan Saling Mendukung (Fostering a Culture of Learning, Psychological Safety & Mutual Support): Secara aktif menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa aman untuk berbicara, mengajukan pertanyaan, mengakui kesalahan, dan bereksperimen tanpa takut akan hukuman yang tidak adil. Mendorong kolaborasi lintas fungsi dan merayakan pembelajaran dari kegagalan sama pentingnya dengan merayakan kesuksesan.
  • c. Pengembangan Kesadaran Diri dan Kecerdasan Emosional (Developing Self-Awareness & Emotional Intelligence): Menginvestasikan dalam program pelatihan, coaching, dan mentoring yang membantu para pemimpin dan calon pemimpin mengembangkan kesadaran diri mengenai bias dan ego mereka, serta meningkatkan kecerdasan emosional untuk mengelola interaksi secara lebih efektif dan empatik.
  • d. Menyelaraskan Sistem dan Struktur (Aligning Systems & Structures): Memastikan bahwa sistem rekrutmen, evaluasi kinerja, kompensasi, dan promosi selaras dengan dan memperkuat nilai-nilai konsistensi dan rendah hati. Misalnya, memberikan penghargaan tidak hanya berdasarkan hasil, tetapi juga berdasarkan perilaku kolaboratif dan pembelajaran.
  • e. Komunikasi yang Konsisten dan Transparan (Consistent & Transparent Communication): Menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk secara terus-menerus memperkuat pesan mengenai pentingnya konsistensi dan rendah hati, serta memberikan contoh nyata bagaimana nilai-nilai ini diterapkan dalam organisasi.
  • f. Kesabaran dan Kegigihan (Patience & Persistence): Mengakui bahwa perubahan budaya membutuhkan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Pemimpin perlu menunjukkan kesabaran dan kegigihan dalam menghadapi resistensi dan kemunduran yang mungkin terjadi di sepanjang jalan.

Dengan pendekatan yang terencana dan komitmen yang kuat, tantangan dalam mengimplementasikan konsistensi dan rendah hati dapat diatasi, membuka jalan bagi terciptanya organisasi yang lebih tangguh, inovatif, dan humanis. ### Kesimpulan: Meneguhkan Konsistensi dan Rendah Hati sebagai Fondasi Kepemimpinan Abad ke-21

Perjalanan melalui lanskap kepemimpinan modern menegaskan kembali sebuah kebenaran fundamental: di tengah arus perubahan teknologi dan dinamika pasar yang tak henti-hentinya, karakter kepemimpinan tetap menjadi jangkar yang menentukan arah dan ketahanan organisasi. Konsistensi dan rendah hati, dua nilai yang mungkin tampak klasik, justru terbukti memiliki relevansi yang semakin mendalam dan berfungsi sebagai pilar strategis yang tak tergantikan dalam manajemen kontemporer.

Artikel ini telah mengupas secara ekstensif bagaimana konsistensi – yang termanifestasi dalam stabilitas tindakan, kepatuhan pada prinsip, dan integritas antara kata dan perbuatan – berfungsi sebagai fondasi esensial untuk membangun kepercayaan (trust), menstandarisasi ekspektasi, dan mendorong kinerja yang unggul. Kepercayaan yang lahir dari konsistensi menciptakan lingkungan kerja yang stabil dan aman secara psikologis, memungkinkan tim untuk beroperasi dengan efektivitas maksimal.

Di sisi lain, rendah hati – yang tercermin dalam kesadaran diri, keterbukaan terhadap pembelajaran, pengakuan keterbatasan, dan fokus pada tujuan kolektif – bertindak sebagai katalisator vital untuk adaptasi, inovasi, dan kolaborasi. Pemimpin yang rendah hati menciptakan budaya inklusif di mana ide-ide baru dapat berkembang, umpan balik diterima sebagai hadiah, dan organisasi mampu belajar serta beradaptasi dengan lincah terhadap perubahan eksternal.

Lebih jauh lagi, kekuatan sejati muncul dari sinergi harmonis antara kedua pilar ini. Konsistensi tanpa rendah hati berisiko melahirkan kekakuan dan otoritarianisme, sementara rendah hati tanpa konsistensi dapat mengarah pada ketidaktegasan dan kebingungan. Keseimbangan ideal, di mana pemimpin teguh pada nilai dan tujuan inti (konsisten) namun tetap terbuka, adaptif, dan berorientasi pada pembelajaran dalam proses pencapaiannya (rendah hati), adalah kunci untuk membangun organisasi yang tidak hanya berkinerja tinggi tetapi juga tangguh (resilient), adaptif (adaptive), dan berkelanjutan (sustainable) dalam jangka panjang.

Implementasi praktis melalui kepemimpinan teladan, sistem yang mendukung, pengembangan berkelanjutan, dan komunikasi terbuka menjadi langkah krusial dalam menanamkan budaya ini. Meskipun tantangan seperti tekanan jangka pendek dan resistensi budaya mungkin ada, strategi solusi yang proaktif dan komitmen jangka panjang dapat mengatasinya.

Pada akhirnya, konsistensi dan rendah hati bukanlah sekadar atribut moral yang terpuji; keduanya adalah kompetensi kepemimpinan strategis yang terbukti secara empiris mendorong kesuksesan organisasi di era modern. Pemimpin yang mampu menginternalisasi dan mempraktikkan kedua nilai ini secara seimbang akan lebih siap untuk menavigasi kompleksitas, membangun tim yang loyal dan terlibat, serta menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi organisasi dan masyarakat luas. ### Penutup: Refleksi bagi Pemimpin Masa Kini

Menakhodai sebuah organisasi di era modern ini menuntut lebih dari sekadar kecakapan teknis, ketajaman strategis, atau kemampuan manajerial. Di jantung kepemimpinan yang efektif dan berkelanjutan terletak fondasi karakter yang kokoh, yang tercermin dalam kedewasaan emosional dan integritas personal. Konsistensi dalam memegang teguh prinsip dan visi, berpadu dengan kerendahan hati untuk terus belajar, beradaptasi, dan melayani, bukanlah sekadar pilihan etis, melainkan sebuah keharusan strategis.

Kedua kualitas ini – konsistensi dan rendah hati – akan senantiasa relevan dan menjadi kompas moral serta operasional yang andal, terlepas dari badai disrupsi atau kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh organisasi Anda. Keduanya adalah mata air bagi kepercayaan, katalisator bagi inovasi, dan perekat bagi loyalitas tim yang sejati.

Sebagai penutup edisi RF’s Corner kali ini, mari kita berhenti sejenak untuk berefleksi:

Sudahkah Anda, sebagai pemimpin atau calon pemimpin, secara sadar mempraktikkan dan menyeimbangkan konsistensi dan rendah hati dalam perjalanan kepemimpinan Anda hari ini?

RF 5 Mei 2025

TAFSIR Q.S. AN-NABA’ (Habis)

إنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17) يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا (18) وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا (19) وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا (20)

Terjemahannya:

, hari keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan ( 17 ) ( Yaitu ) pada hari ( ketika ) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong”( 18 ).dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu, ( 19 ) dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia. ( 20 )

            Maksudnya, sesungguhnya hari perhitungan, pembalasan dan pengadilan antara makhluk telah ditentukan yang diketahui dalam Ilmu Allah Ta’ala dan ketetapan-Nya, tidak dapat disegerakan  waktunya dan tidak dapat diundurkan, sebagaimana didalam Q.S. Hud : 103 – 104 Allah berfirman:

ذلك يَوْمٌ مَّجْمُوعٌ لَّهُ الناس وَذَلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُودٌ وَمَا نُؤَخِّرُهُ إِلاَّ لأَجَلٍ مَّعْدُودٍ

Terjemahannya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan ( untuk dihisab ), dan itulah hari yang disaksikan ( oleh semua makhluk ). Dan kami tidak akan menunda kecuali sampai waktu yang ditentukan.”

            Dinamai Yaum al-fashl ( Hari Putusan ) karena Allah Ta’ala memberi putusan pada hari itu dengan hukum-Nya diantara makhluk. Kemudian Allah menyebutkan tiga ciri hari tersebut:

  1. Firman-Nya: “Yauma yungfahu fish shuri fata’tuna afwaja” maksudnya, di hari ketika Israfil meniup terompet kemudian keluar manusia berbagai generasi dari kuburannya mendatangi suatu tempat yang lapang dalam keadaan berkelompok-kelompok. Setiap umat yang datang itu dampingi oleh rasulnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ

Terjemahannya:” (Ingatlah ! ), pada hari ( ketika ) kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Q.S. Al-Isra: 71 ).

  • Firman-Nya: “Wa futihatis sama’u”, “Dan langit pun dibukalah” disambungkan kepada kalimat, “fata’tuna”, “lalu kamu datang”, pengungkapannya  dengan kata kerja bentuk lampau ( fi’il madhi ) untuk menyatakan keniscayaan terjadi. Ungkapan tersebut mengisyaratkan langit bukan terbuka sebagaimana sebuah pintu, tetapi menjadi terbelah sesuai dengan firman-Nya:

إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ

Terjemahannya: “Apabila langit terbelah”( Al-Infithar: 1 ).

Dan firman-Nya:

إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ

Terjemahannya: “Apabila langit terbelah” ( Al-Insyiqaq: 1 )

Konon langit terbelah karena turun para malaikat setelah kematian mereka di kali pertama, kemudian Allah menghidupkan kembali di kali yang kedua dan turun semuanya di setaip penjuru dan di setiap arah menggiring manusia menuju Padang Mahsyar[1]. Firman-Nya:

وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّماءُ بِالْغَمامِ، وَنُزِّلَ الْمَلائِكَةُ تَنْزِيلًا    

Terjemahannya: “Dan( ingatlah ! ) pada hari ( ketika ) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para Malaikat diturunkan ( secara ) bergelombang.” ( Q.S. Al-Furqan: 25 ).

  • Firman-Nya: ”Wa suyyirotil jibalu fakanat mirshoda”, “Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana” maksudnya, gunung-gunung digelincirkan dari tempatnya dan menjadi berserak-serakan diudara seperti berhamburan debu sehingga orang yang melihat menyangka fenomena itu sebuah fatamorgana. Dimulai kejadian itu dengan peristiwa benturan keras sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبالُ، فَدُكَّتا دَكَّةً واحِدَةً

Terjemahannya: “Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan.” ( Q.S. Al-Haqqah: 14 ).

Kemudian gunung menjadi seperti bulu yang diterbangkan. Didalam Q.S. Al-Qariah: 5 Allah berfirman:

وَتَكُونُ الْجِبالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ

Terjemahannya: “Gunung menjadi seperti kapas yang dihamburkan”.

Kemudian gunung dikoyak-koyak, dihamburkan, sehingga menjadi seperti debu yang berhamburan di udara. Di dalam Q.S. Al-Waqi’ah Ayat 4 – 5 Allah Ta’ala menjelaskan:

            إِذا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا، وَبُسَّتِ الْجِبالُ بَسًّا، فَكانَتْ هَباءً مُنْبَثًّا

Terjemahannya: “Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur-luluhkan sehancur-hancurnya.”  

Kemudian gunung dihancurkan dari pelataran bumi dengan angin sebagaimana Allah berfirman:         

 وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْجِبالِ فَقُلْ: يَنْسِفُها رَبِّي نَسْفاً [طه 20/ 105]

Terjemahannya: “Dan mereka bertanya kepadamu ( Muhamad ) tentang gunung-gunung. Maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya ( pada hari kiamat)  sehancur-hancurnya.” ( Q.S. Thaha: 105 ).

وَتَرَى الْجِبالَ تَحْسَبُها جامِدَةً، وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحابِ [النمل 27/ 88] » .

Terjemahannya: “  Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan ( seperti ) awan berjalan.” ( Q.S. An-Naml: 88).

إنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا (21) لِلطَّاغِينَ مَآبًا (22) لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا (23) لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (25) جَزَاءً وِفَاقًا (26) إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا (27) وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا (28) وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا (29) فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا (30)

Terjemahannya: “Sungguh, ( neraka ) Jahanam itu ( sebagai ) tempat mengintai ( bagi penjaga yang mengawasi isi neraka ) ( 21 ) menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melebihi batas ( 22 ) mereka tinggal disana dalam waktu yang lama ( 23 ) mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan  tidak ( pula mendapat ) minuman ( 24 ) selain air yang mendidih dan nanah ( 25 ) sebagai pembalasan yang setimpal ( 26 ) sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan ( 27 )  dan mereka benar-benar mendustakan  ayat-ayat kami ( 28 )  dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab ( buku catatan amal manusia ) ( 29 ) maka karena itu rasakanlah !  Maka tidak ada yang akan kami tambahkan  kepadamu selain adzab ( 30)

            Firman-Nya: “Inna jahannama kanat mirshoda”, “Sungguh, ( neraka ) Jahanam itu ( sebagai ) tempat mengintai ( bagi penjaga yang mengawasi isi neraka )”, maksudnyaNeraka Jahanam dalam hukum Allah dan ketetapan-Nya ada penjaganya disiapkan bagi orang-orang yang melewati batas, bertindak  sewenang-wenang, membangkang dan menyelisihi para utusan.

            Firman-Nya: “Lith thoghina ma’aba”, “ menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melebihi batas. Ath-Thaghun merupakan bentuk jamak dari thogin dimaknai orang yang melewati batas. Melewati batas adakalanya terjadi didalam haq-haq Allah, umpamanya gegabah didalam melaksanakan kewajiban atau terjerumus melaksanakan yang diharamkan. Melewati batas adakalanya juga di dalam haq-haq sesama manusia, umpamanya berlaku aniaya terhadap hartanya, menumpahkan darahnya atau menodai kehormatannya. Berdasarkan ayat ini penghuni neraka yaitu orang-orang yang melewati batas terhadap haq-haq Allah dan haq-haq manusia[2]. Menurut persefsi Ibnu Abas Thoghin adalah orang-orang yang mensekutukan Allah.[3]

            Firman-Nya: “Labitsina fiha ahqoba”, “mereka tinggal disana dalam waktu yang lama”, maksudnya mereka menetap di neraka selamanya, tidak pernah terputus waktu tanpa menikmati tidur.  Diriwayatkan dari seluruh ulama salaf bahwa satu hari di akhirat seukuran seribu tahun di dunia[4]. Setiap berakhir masa dari satu macam siksaan datang masa yang baru dengan siksaan yang lain bentuknya. Menurut satu pendapat , diungkapkan dengan lafazh al-ahqob ( waktu yang lama ) bukan dengan lafazh al-ayyam ( hari-hari ) agar lebih memberikan efek rasa takut yang hebat di dalam hati dan agar menunjukkan kekekalannya. Firman Allah Ta’ala:

يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ

            Terjemahannya: Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak       dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.“(Al-Maidah:  37 ).

Kekal menjadi penghuni neraka yang ditunjuk ayat ini suatu kemestian bagi kaum musyrik, difahami secata kontekstual  bagi para pendurhaka mukminin akan dikeluarkan dari neraka setelah rentang masa yang lama menjalani siksaan sebagai pembersih dari dosa.

            Firman-Nya: “La yadzuquna fiha bardaw wala syaroba, iilla hamimaw waghossaqo”, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan  tidak ( pula mendapat ) minuman,   selain air yang mendidih dan nanah”, maksudnya mereka  dalam rentang masa yang teramat panjang, tanpa ada akhirnya, di dalam Jahanam tidak merasakan kesejukan yang memberi manfaat dari terpaan panasnya dan tidak ada minuman sebagai penawar dari rasa dahaga kecuali al-hamim, yaitu air panas yang menggelegak. Allah Ta’ala telah menjanjikan hanya satu jenis air dingin yang mengalir di Neraka Jahanam sebagai minuman bagi para penghuninya yaitu al-ghassaq. Imam Ar-Razi[5] memaknai  al-ghassaq yaitu  suatu cairan yang keluar dari mata dan kulit penghuni neraka berupa nanah, bisul, keringat dan semua dzat basah yang dipandang kotor dari jasad. Cairan tersebut selain  sangat dingin suhunya juga berbau bau busuk yang menyengat. Hadits yang diterima melalui Sa’id Al-Khudri mengungkapkan:

“لَوْ أنَّ دَلْوًا مِنْ غَسَّاقٍ يُهْرَاقُ إلى الدُّنْيا لأنْتَن أهْلَ الدُّنْيا”.

Terjemahannya: “Seandainya setimba nanah ( di akhirat ) ditumpahkan ke dunia niscaya menjadi bau busuk penghuni dunia.”

            Firman-Nya: “Jaza’aw wifaqa”, “Sebagai balasan yang setimpal”,  maknanya Allah menyiksa mereka dengan siksaan seperti itu sebagai balasan yang sesuai dengan amal buruknya.[6]

            Firman-Nya: “Innahum kanu la yarjuna hisaba”,sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan” maksudnya mereka mengerjakan amal kejelekan ketika hidup di dunia sekehendak yang diinginkan karena dalam benaknya tidak ada hari perhitungan yang ditunggu-tunggu, apalagi siksaan yang menimpanya. Motif seseorang mengerjakan berbagai kebaikan dan meninggalkan segala yang dilarang  hanyasaja ketika terpatri keyakinan dari relung hatinya bahwa semua itu memberi kemanfaatan kelak di kehidupan akhirat,  bagi orang yang mengingngkari tentu tidak akan menjadikan sebagai bekal amal kebaikan  dan tidak akan mencegah untuk mengerjakan kejelekan ( Al-Maraghi, X, 2001 M :   ). Dengan kata lain, mereka tidak mengimani hari kebangkitan, pembalasan amal kebaikan dan amal keburukan sehingga mengabaikan beramal bagi kehidupan akhirat ( As- sa’adi, 1431 H : 1072 ).

            Firman-Nya: “Wa kadzdzabu bi ayatina kidzdzaba”, “dan mereka benar-benar mendustakan  ayat-ayat kami”, maksudnya mereka mendustakan ayat-ayat Allah  secara terang-terangan dan berpaling dari kebenaran ketika telah datang berbagai penjelasan.[7] Bisa jadi kedustaan mereka terhadap Al-Quran atau lebih umum berbuat kedustaan yang sangat besar.[8]

            Firman-Nya: “Wa kulla syai’in ahshoinahu kitaba”, “dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab ( buku catatan amal manusia )” maksudnya, Allah mengetahui seluruh amal hamba-hamba-Nya, mencatat-Nya dan kelak Dia memberikan balasan atas itu, jika amal hamba itu baik dibalas dengan pahala kebaikan dan jika amal hamba itu buruk akan diberi sanksi berupa siksa-Nya.[9]

            Firman-Nya, “fadzuqu …….” Abu Barzah pernah bertanya kepada Nabi saw. mengenai ayat yang paling keras di dalam Al-Quran, beliau saw. membacakan ayat ini.[10] Kedasyatan siksaan Neraka diilustrasikan diantaranya oleh dua ayat berikut:

كُلَّما نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْناهُمْ جُلُوداً غَيْرَها

Terjemahannya: Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.” ( Q.S. Al-Isra’: 56 ).

 وكُلَّما خَبَتْ زِدْناهُمْ سَعِيراً [الاسراء: 97].

          Terjemahannya: Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami         tambah lagi bagi mereka nyalanya.”( Q.S. Al-Isra’: 97 ).       

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (31) حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (32) وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (33) وَكَأْسًا دِهَاقًا (34) لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا (35) جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا (36) رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا (37)يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا (38) ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا (39) إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا (40)

Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, ( 31 ) (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, ( 32 ) dan gadis-gadis remaja yang sebaya, ( 33 ) dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). ( 34 ) Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. (35 ) “Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, ( 36 ) Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. ( 37 ) Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. ( 38 ) Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. ( 39 ) Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:”Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah”. ( 40 )

            Ayat ini merupakan permulaan Surat An-Naba dalam menjelaskan keadaan mukminin dan yang di janjikan berupa pahala kebaikan setelah menjelaskan keadaan kafirin dan sesuatu yang dijanjikan atas mereka berupa kejelekan.[11] Di dalam Tafsir Taisir Al-karim Ar-Rahman, As-Sa’adi[12] mempersefsi muttaqin yang digembirakan dengan Surga-Nya yaitu mereka yang takut terhadap kemurkaan Tuhannya yang direfleksikan dengan cara teguh melaksanakan ketaatan dan membersihkan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai Allah.

            Penghuni Surga mengenyam kenikmatan di dalam sebuah taman yang dipagari beragam pepohonan, buah-buahan dan anggur yang lezat rasanya. Mereka ditemani para bidadari surgawi yang muda-belia berparas cantik jelita dan molek postur tubuhnya. Mereka mereguk khomer surga yang tidak memabukkan memenuhi gelas-gelasnya. Di dalam Surga mereka tidak akan mendegar ucapan bathil, tidak ada dusta diantara mereka, mengisyaratkan lokasi steril dari kemaksiyatan dan perbuatan aniaya serta ketinggian etika para penghuninya, ketentraman jiwanya yang tidak ternodai dengan ucapan yang menyimpang dari kebenaran.[13]

            Dalam ayat ke-37 Allah memberikan penegasan bahwa Dia Rab yang memberi karunia balasan kebaikan yang disifati dengan keagungan dan  kemuliaan; Pencipta dan pengurus langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada pada keduanya dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya; Maha Pengasih, kasih-sayang-Nya meliput segala sesuatu; di hari yang sangat mencekam itu Jibril dan para malaikat pilihan berdiri dalam keadaan takut sehingga tidak kuasa berkata-kata di hadapan Allah. Dalam Pandangan Imam Ash-Shawi,[14] Malaikat saja seutama-utama makhluk dan sedekat- dekat derajat di sisi Allah tidak kuasa berkata-kata memberi syafaat kecuali dengan izin Allah, bagaimana makhluk selainnya memiliki kemampuan dalam memberi syafaat?

            Hanyasaja kategori manusia yang diizinkan berkata-kata dengan Allah pada waktu itu yang memenuhi dua persyaratan, yaitu:

  1. Orang yang diberi izin dari Allah untuk memberikan syafaat sebagaimana difirmankan:

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

            Terjemahannya: Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-        Nya?” ( Q.S. Al-Baqarah: 255 ).

يَوْمَ يَأْتِ لا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

          Terjemahannya: Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara,     melainkan dengan izin-Nya.” ( Q.S. Hud: 105 ).

  • Orang yang diberi izin dari Allah untuk dianugerahi syafaat, mereka senantiasa yang mengukir manis pada bibirnya ketika di dunia dengan kalimah thayyibah “La ilaha illalloh” penuh keyakinan meresapi maknanya dan diaplikasikan dalam kehidupan keseharian.

            Firman-Nya: “Dzalikal yaumul haq”, “Itulah hari yang pasti terjadi”. Isim isyarah (kata yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu) ذلك dalam ayat ini kembali kepada hari kebangkitan yaitu suatu hari ketika seluruh manusia berdiri di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin untuk dihisab dan diberi balasan merupakan hari yang tidak ada keraguan terjadinya.

            Firman-Nya: “famang sya’at takhodza ila robbihi ma’aba”, maksudnya sebagai tempat kembali yang dibuktikan dengan  melaksanakan kesalihan.[15]

                        Firman-Nya: “Inna angzharnakum ‘adzabang qoriba”, merupakan kalimat tambahan untuk memberikan rasa ketakutan bagi kaum kafir, diungkapkan dengan memberikan peringatan agar menyampaikan puncak ketakutan yang mendalam kepada siksa akhirat.

            Firman-Nya: “Yauma yangzhurul mar’u ma qoddamat yadah”, maksudnya akan dihadapkan semua amalan baik dan buruk yang telah lalu dan yang terkemudian sebagaimana Allah berfirman:

وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا

            Terjemahannya: dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada             (tertulis).” ( Q.S. Al-Kahfi: 49 ).

 يُنَبَّأُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ.

            Terjemahannya: “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah          dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” ( Al-Qiyamah: 13 ).

            Firman-Nya: “Wa yaqulul kafiru yalaitani kungtu turoba”. Menurut ayat ini orang kafir berangan-angan agar menjadi tanah saja ketika di kehidupan dunia, tidak diciptakan menjadi manusia, karena menyaksikan kedahsyatan rupa-rupa siksaan yang telah dijanjikan Allah. Al-Sayuthi[16] menukil periwayatan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa ia berkata:

يحْشر الْخَلَائق كلهم يَوْم الْقِيَامَة الْبَهَائِم وَالدَّوَاب وَالطير وكل شَيْء فَيبلغ من عدل الله أَن يَأْخُذ للجماء من القرناء ثمَّ يَقُول: كوني تُرَابا فَذَلِك حِين يَقُول الْكَافِر: {يَا لَيْتَني كنت تُرَابا}

            “Dikumpulkan seluruh makhluk dari jenis hewan ternak, melata, burung dan           segala sesuatu pada hari kiamat sehingga sampai keadilan Allah memenuhi     permohonan seekor domba yang patah tanduknya agar diambil tanduk dari domba      yang mematahkannya, kemudian Allah berfirman: “Jadilah kalian tanah!” ketika itu             orang kafir berkata: “Ya laitani kuntu turoba”, “Alangkah baiknya seandainya       dahulu aku jadi tanah.”


[1] Ahmad Bin Muhamad Al-Shawi, Hasyiyat Al-Shawi, Usaha Keluarga, Semarang: t.t., jld. IV, hlm. 28.

[2] Muhamad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma, Dar Al-Tsurya, Riyadh: 2002, hlm. 30.

[3] Jamal Al-Din Abu Al-Farj ‘Abd Ar-Rahman bin Muhamad Al-Jauzi, Zad Al-Masir Fi ‘Ilm Al-Tafsir, Dar Al-KItab Al’Arabi, Beirut: 1422 H, juz. IV, hlm. 389.

[4] Al-Alusi, Syihab Al-Din Mahmud bin ‘Abd Allah Al-     Husaini Al-Lusi, Ruh Al-Ma’ani ,Dar Al-Fikr: t.t., Juz. XXX, hlm. 24.

[5] Abu ‘Abd Allah Muhamad bin Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Al-Taimi Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut: 1420 H, Jld.XXXI, hlm. 17.

[6] Muhamad ‘Ali Al-Shabuni, Shafwat Al-Tafasir, Dar Al-Fikr Beirut: 2001, jld. III , hlm.484.

[7] ‘Abd Al-Rahman bin Nashir bin ‘Abd Allah Al-Sa’adi, Taisir Al-Karim Al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Mu’assasat Al-Risalat, Al-Madinah Al-Munawarah: 1431 H, hlm. 1072.

[8] Abu Al-Thayib Muhamad Shidiq Khan bin Hasan bin ‘Ali Ibn Luthf Allah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawazi, Fath Al-Bayan  Fi Maqashid Al-Quran, Al-Maktabat Al-‘Ashriyat Lil Thaba’at Wa Al-Nasyr Shaida, Beirut: 1992, jld. XV, hlm. 39.

[9] Abu Al-Fida’ Ismail bin ‘Umar bin Katsir Al-Qurasyiyi Al-Bashari Al-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran Al’Azhim Dar Al-Fikr, Beirut: 1992, jld. IV, hlm. 560.

[10]  Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhamad bin Ahmad bin Abi Bakr  bin Farh Al-     Anshari, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Dar Al-Kitab Al-                Mishriyat, Kairo: 1964, jld. IXX, hlm. 183.

[11] Abu Al-Thayib Muhamad Shidiq Khan bin Hasan bin ‘Ali Ibn Luthf Allah Al-Husaini Al-Bukhari Al-Qinawazi, Fath Al-Bayan  Fi Maqashid Al-Quran, Al-Maktabat Al-‘Ashriyat Lil Thaba’at Wa Al-Nasyr Shaida, Beirut: 1992, jld. XV, hlm. 41.

[12] Abd Al-Rahman bin Nashir bin ‘Abd Allah Al-Sa’adi, Taisir Al-Karim Al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Mu’assasat Al-Risalat, Al-Madinah Al-Munawarah: 1431 H, hlm. 1073.

[13] Wahbat bin Mushtafa Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Fi Al-‘Aqidat Wa Al-Syari’at Wa Al-Manhaj, Dar Al-Fikr Al-Ma’ashir, Damaskus: 2005, jld. XV, hlm. 387.

[14] Ahmad Bin Muhamad Al-Shawi, Hasyiyat Al-Shawi, Usaha Keluarga, Semarang: t.t., jld. IV, hlm. 28.

[15] Abu Al-Barakat ‘Abd Allah bin Ahmad bin   Mahmud Hafizh Al-Din Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil Wa Haqa’iq Al-Ta’wil, Dar Al-Kalim Al-Thayib, Beirut: 1998, jld. III, hlm. 593.

[16] ‘Abd Al-Rahman bin Abi Bakr Jalal Al-Din Al-Sayuthi, Al-Dur Al-Mantsur Fi Tafsir Bi Al-Mantsur, Dar Al-Fikr, Beirut: 2009, jld. VI, hlm. 507.

TAFSIR SURAT AN- NABA’

TAFSIR Q.S. AN – NABA’

            Nyaris semua topik di dalam Surat Makiyyah ketika membicarakan isu-isu hari kebangkitan  memberikan pernyataan penetapan keberadaannya dan penanaman keyakinan yang meliputinya. Gaya bahasa yang didatangkan adakalanya berbentuk sumpah atau menyodorkan dalil-dalil yang logik dan dalil-dalil yang dapat diserap secara inderawi  atas kemungkinan terjadinya; ataupun dengan cara menebar rasa ketakutan dan kesan-kesan mendalam yang teringkas dalam dua perkara: masuk ke Surga atau atau dihempas ke Neraka, karena al-tasyri’ al-makky ( legislasi hukum-hukum pada Periodesasi Mekah ) mengarahkan maksud secara umum dalam urusan bertata-keyakinan yang benar ( ‘aqa’id ) puncak urgensinya meng-Esakan Allah, membuang kemusyrikan, menetapkan kenabian atau risalah wahyu, penetapan keniscayaan Hari Kiamat dan merinci kedatangan Kiamat yang sangat dahsyat.[1]

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)

            Terjemahannya: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” ( 1 ) “Tentang berita yang besar ( hari berbangkit)” ( 2 ) “yang dalam hal itu mereka berselisih”( 3 ) “Tidak ! kelak mereka akanmmengetahui” ( 4 ) “Sekali lagi tidak ! kelak mereka akanmengetahui” ( 5 ).

            Dimulai surat yang mulia ini dengan pengkabaran Hari Kiamat, Hari kebangkitan dan Hari Pembalasan. Topik-topik ini yang dilalaikan ingatan kebanyakan kaum kafir Mekah  sehingga mereka ada pada posisi antara membenarkan dan mendustakan. Surat ini turun dengan background ketika Nabi saw.  menyeru kepada tauhid dan memberi kabar  tentang kebangkitan setelah kematian, beliau saw.  membacakan kepada mereka Al-Quran, mulailah saling bertanya diantara mereka, “Apa yang telah dibawa Muhamad dengan Al-Quran?” Diredaksikan Hari Kiamat dengan naba’i al-‘azhim. Berkenaan makna an-naba’u al-‘azhim ada tiga pendapat. Menurut Mujahid, Muqatil dan Al-Fara’ an-naba’u al-‘azhim bermakna Al-Quran, alasannya karena menjadi jawaban bagi kalimat bertanya ‘amma, seolah-olah bermakna: “bagi urusan apa mereka saling bertanya perihal Al-Quran?” kaum musyrik berselisih menilai Al-Quran, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa Al-Quran itu sihir, ada juga yang berpendapat Al-Quran itu syair-syair dan ada juga yang berpendapat bahwa Al-Quran hanya dongeng-dongeng belaka. Sedangkan menurut Az-Zujaj maknanya urusan Nabi saw. Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid: “An-Naba’u al-‘Azhim maknanya dibangkitkan setelah kematian.

            FirmanNya: “Alladzihum fihi mukhtalifun”, “Yang dalam hal itu mereka berselisih”. Maksud ayat ini ada dua golongan yang menyerap informasi perihal hari kiamat. Pertama, golongan yang tercegah dari pengingkaran, yaitu mukminin yang bertanya-tanya karena bertambah rasa takut terhadap fenomena hari kiamat. Kedua, golongan kafirin yang bertanya-tanya hanya untuk mengekspresikan sikap memperolok-olokan satu diantara pokok keimanan muslimin.[2]

            FirmanNya, “Kalla saya’lamun. Tsumma kalla saya’lamun” “Tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Sekali lagi tidak! Kelak mereka akan mengetahui.” Merupakan bentuk ungkapan pencegahan, maksud ayat ini merintangi kaum kafir bertanya-tanya mengenai hari kebangkitan karena mereka sendiri akan mengetahui kepastian keberadaannya. Sekiranya mereka melihat hari kebangkitan sebagai sesuatu yang nyata, niscaya akan mendapatkan akibat memperolok-olokannya.[3] Pengulangan kalimat ini dengan nada yang sama mengisyaratkan ancaman yang sangat pada kali yang kedua bahwa kiamat pasti terjadi mendahului hari kebangkitan. [4]

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهاداً (6) وَالْجِبالَ أَوْتاداً (7) وَخَلَقْناكُمْ أَزْواجاً (8) وَجَعَلْنا نَوْمَكُمْ سُباتاً (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِباساً (10)وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً (11)

Terjemahannya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, ( 6 ) dan gunung-gunung sebagai pasak?, ( 7 ) dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, ( 8 ) dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, ( 9 ) dan kami menjadikan malam sebagai pakaian ( 10 )dan kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan “( 11 ).

            Rentetan ayat ini menjelaskan nikmat-nikmat Allah yang melimpah ruah, dalam bentuk fenomena yang begitu jelas dapat diamati oleh pandangan manusia, yaitu:

  1. Bumi sebagai hamparan

Allah menciptakan bumi dalam keadaan terhampar untuk bercocok tanam, tempat menetap hidup manusia dan berbagai hayati dan jalan-jalan yang dapat ditempuh dari satu tempat ke tempat yang lain.

2. Gunung sebagai pasak bagi bumi

Allah menjadikan pasak bagi bumi dengan gunung sebagaimana rumah dikokohkan dengan tiang pancang sehingga tidak bergoyang penghuninya. Seorang mufti dari Mesir berpendapat, hanyasaja gunung menjadi pasak bumi karena ia muncul didalam bumi seumpama nampak pasak yang ditancapkan ke dalam tanah. Gunung berfungsi dalam pengokohan bumi, mencegah menjadi dataran yang luas dan goncangan. Sekiranya Allah tidak menganugerahkan gunung-gunung di bumi ini tentu bumi akan mengalami labil oleh banyak goncangan.

3. Diciptakan manusia berpasangan laki-laki dan perempuan

Penciptaan manusia berpasang-pasangan jenis laki-laki dan perempuan agar tumbuh rasa suka kepada beda jenis kelamin sehingga terjalin cinta dan kasih-sayang dalam lembaga pernikahan, saling menolong dalam meraih kebahagian hidup, memelihara keturunan dan menjadi sempurna tarbiyah.

            Terjemahannya:“Dan diantara tanda-tanda ( kebesaran )-Nya ialah Dia     menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan      diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-           benar terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berpikir.“            ( Q.S. Ar-Rum: 21 ).

4. Tidur untuk istirahat

Allah  menjadikan manusia tidur dalam terpal waktu pendek untuk kemanfaatan bagi kesehatan badan maupun kesehatan jiwa. Seolah-olah keadaan tidur seperti mati dalam kondisi  tidak merasakan sesuatu tetapi masih tetap hidup karena ruh tidak terpisah dari jasad. Ketika seseorang terbangun dari tidur akan merasakan kenikmatan kesegaran badan, hilang rasa penat setelah beraktifitas, bahkan aktifitas tidur sangat membantu dalam proses detoksifikasi dari racun-racun yang membahayakan tubuh, dengan manfaat seperti itu diraih kesempurnaan istirahat.

5. Malam sebagai pakaian

Dijadikan malam diliputi gelap-gulita ibarat pakaian yang menutupi jasad manusia. Kegelapan malam menutupi manusia dari pandangan musuh untuk menguntit apabila bersiasat lari dari serangan mereka. Kegelapan malam juga menjadi anugerah besar untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak pantas diketahui orang lain. Kegelapan malam sangat bermanfaat memberikan kenyamanan beristirahat sebagai anugerah yang sangat besar dari Allah ‘Azza wa Jalla.

6. Siang untuk mencari penghidupan

Allah menjadikan siang terang benderang agar mudah meraih pencaharian, melakukan berbagai transaksi,  perniagaan, bercocok tanam dan sebagainya bagi pemenuhan kebutuhan. Andai dijadikan kehidupan di dunia ini siang terus-menerus, niscaya kesempurnaan istirahat tidak akan pernah dirasakan. Dan andai dijadikan kehidupan di dunia ini malam terus-menerus, niscaya akan menyulitkan manusia mencurahkan kiprah hidup.

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)

Terjemahannya:“Dan kami membangun di atas kamu tujuh ( langit ) yang kukuh ( 12 ) Dan kami menjadikan pelita yang terang benderang( matahari ) ( 13 ) Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya ( 14 ) untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman ( 15 ) dan kebun-kebun yang rindang “( 16 ).

`           Firman-Nya: “Wa banaina fauqokum sab’ang syidada”, Kata syidadan merupakan bentuk jamak dari kata syadidatan maksudnya kokoh, sempurna tidak terpengaruh oleh perobahan zaman, diciptakan ibarat atap bagi bumi, firman-Nya:

{وَجَعَلْنَا السمآء سَقْفاً مَّحْفُوظاً} [الأنبياء: 32]

Terjemahannya: “Dan kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara. “ (Q.S. Al-Anbiya: 32 ).

 وقوله {والسمآء بَنَيْنَاهَا بِأَييْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات: 47]

Terjemahannya: “Dan langit kami bangun dengan kekuasaan ( kami ), dan kami benar-benar meluaskannya“( Q.S. Adz-Dzariyat: 47 ).

Pembuktian atas kekuasaan Allah membangkitkan manusia setelah kematian,  diciptakan tujuh langit tegak di atas kepala  tanpa tiang.  Dalam bahasa arab tujuh merupakan bilangan istimewa menunjukkan tak terhingga. Bisa jadi jawaban seorang kakek ketika ditanya berapa umurnya, tidak salah jika ia menjawab “umur saya sudah tujuh tahun”, maksudnya tujuh puluh tahun. Pada waktu malam, secara kasat mata, langit dihias dengan bintang-gemintang dan cahaya rembulan. Dibalik yang tersembunyi dari pandangan mata, ternyata langit itu tempat bedomisili para malaikat yang jumlahnya berlipat-lipat dari anak keturunan Adam. Tentu penciptaan langit yang sangat luas ditilik dari segi kompleksitas lebih sukar dari penciptaan makhluk kecil bernama manusia dan membangkitkannya kembali setelah kematian. Alangkah indah firmanNya berikut:

أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا

Terjemahannya: “Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat, ataukah langit yang telah dibangun-Nya?”

            Firman-Nya: “Wa ja’alna sirojaw wahhaja”, maksudnya Allah menjadikan matahari bercahaya dan sangat panas  menerangi seluruh belahan dunia yang menyala-nyala sinarnya bagi seluruh penduduk bumi. Kekuasaan dan anugerah-Nya matahari tetap berada di orbit dengan jarak tidak terlalu dekat dengan bumi yang akan menyebabkan bumi hangus terbakar, dan tidak terlalu jauh yang menyebabkan punah kehidupan karena hampir semua makhluk hidup dalam perkembangannya membutuhkan cahaya matahari. Seandainya seinci saja matahari bergeser dari orbitnya niscaya hancur dunia ini.

            Firman-Nya: “Wa angzalna minal mu’shiroti ma’ang  tsajjaja”, “Dan kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya.”Al-Mu’shirot maksudnya awan dan mendung yang diproses dari uap air ketika menjadi hujan ibarat seorang perempuan aqil baligh yang telah dekat waktu haidhnya. Fenomena sebab hujan turun adakalanya ditiup oleh hembusan angin yang sangat kencang dan adakalanya ditumpahkan oleh sambaran petir yang menembus lapisan-lapisan langit. Sedangkan tsajjajan maknanya turun dengan deras. Imam Al-Zamakhsyari [6] menakwilkan, sesungguhnya air hujan turun dari langit melalui awan seolah-olah langit diperas.

            Firman-Nya: “Linukhrija bihi habbaw wanabata”, “untuk kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman” maksudnya, Allah menurunkan air hujan untuk menumbuhkan biji-bijian  seperti gandum,  dan tanam-tanaman  seperti pohon Tin,  sebagai makanan bagi manusia dan hewan. Dalam persefsi Imam Al-Razi[7], hanyasaja Allah mendahulukan penyebutan al-hub ( biji-bijian ) karena yang pokok makanan bersumber dari biji-bijian. Di dalam ayat ini Allah menyanjung an-nabat ( tanam-tanaman ) karena kebutuhan hewan terhadapnya, sedangkan kata al-jannat ( kebun-kebun ) diakhirkan penyebutannya karena kebutuhan kepada buah-buahan tidak lebih penting daripada biji-bijian dan tanam-tanaman.

            Firman-Nya: “Wa jannatin alfafa”,dan kebun-kebun yang rindang “ maknanya, berhimpun pohon-pohon yang berdekatan.

(BERSAMBUNG)


[1] Wahbat bin Mushthafa Al-Zuhaili, Al-Tafsir Al-Wasith Li Al-Zuhaili, Dar Al-Fikr, Damaskus: 1422 H, Jld. III, hlm. 2805

[2] Abu Al-Barakat ‘Abd Allah bi Ahmad bin Mahmud Hafizh Al-Din Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil Wa haqa’iq Al-Ta’wil, Dar Al-Kalim Al-Thayib, Beirut: 1998, jld. III, hlm. 589.

[3] Muhamad Ai Al-Shabuni, Shafwat Al-Tafasir, Dar Al-Fikr, Beirut: 2001 M, jld. III, hlm. 483.

[4] Abu Su’ud Al-‘Imadiy Muhamad bin Muhamad bin Musthafa, Irsyad Al-‘Aql Al-Salim Ila Mazaya A-Kitab Al-Karim, Dar Al-Fikr, Beirut: t.t., jld. V, hlm. 811.

[5] Muhamad Jamal Al-Din bin Sa’id bin Qasim Al Halaq Al-Qasimiy, Tafsir Mahasin Al-Ta’wil, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1418 H, jld. IX, hlm. 389.

[6] Abu Al-Qasim Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Al-Zamakhsyari Jar Allah, Al-Kasyaf ‘An Haqa’iq Ghawamidh Al-Tanzil, Dar Al-Fikr, Beirut: 1408 H, jld. IV, hlm. 686.

[7] Abu ‘Abd Allah Muhamad Muhamad bin ‘Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Al-Taimiy Al-Razi Fakh Al-Din Al-Raziy, Mafatih Al-Ghaib, Dar Ihya’ Al-Turats, Beirut: 1420 H, jld. XXXI, hlm. 11.

Kajian Menuntut Ilmu

Kajian menuntut ilmu dalam Islam menekankan pentingnya mencari pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, sebagai bentuk ibadah dan kewajiban bagi setiap Muslim. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai kunci menuju kesuksesan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kewajiban dan Keutamaan Menuntut Ilmu:

  • Menuntut ilmu adalah kewajiban yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.
  • Ilmu dianggap sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  • Orang yang berilmu memiliki keutamaan di sisi Allah dan dihormati oleh orang lain.
  • Ilmu membantu manusia untuk memahami agama, menjalankan ibadah, dan memperbaiki diri.
  • Menuntut ilmu dapat meningkatkan kualitas hidup dan martabat seseorang.

Tujuan Menuntut Ilmu :

  • Menuntut ilmu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, mengusir kebodohan, dan mendapatkan petunjuk kebenaran.
  • Ilmu dunia digunakan untuk memudahkan hidup di dunia, sedangkan ilmu akhirat digunakan untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat, keduanya saling berkaitan dan penting untuk dikuasai.

Manfaat Menuntut Ilmu :

  • Ilmu bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup, meraih kesuksesan, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  • Ilmu juga membantu manusia untuk memahami dan menjalankan ajaran agama dengan benar.
  • Dengan ilmu, manusia dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.